Nasional

Ini Perbedaan Politik Agama dan Politisasi Agama

NU Online  ·  Kamis, 17 Januari 2019 | 16:15 WIB

Jakarta, NU Online
Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Republik Indonesia mengemukakan perbedaan istilah antara politik agama dan politisasi agama. Politik agama ialah memilih calon pemimpin berdasarkan keyakinan agamanya, dan hal itu bagi Bawaslu, bukan termasuk sebuah pelanggaran.

"Memilih pemimpin berlandaskan keyakinan keagamaan, itu mungkin tidak berkualitas, milih pemimpin ya program, visi misi dan seterusnya, tapi bagi Bawaslu, itu tidak melanggar, terserah orang mau memilih berdasarkan apa. Itu yang kita sebut dengan politik agama, yakni memilih berdasarkan agama tertentu," kata staf ahli Bawaslu, Masykurudin Hafidz. 

Hasl tersebut disampaikannya pada Focus Group Discussion yang diselenggarakan Lembaga Bahtsul Masa'il PBNU di gedung PBNU, Kamis (17/1).

Sementara politisasi agama, sambung Hafidz, ialah kampanye dengan menjatuhkan elektabilitas pasangan calon lain dengan cara seperti menghasut, menghina agama, menghina suku dan menggunakan rumah ibadah. Hal ini tertera dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Pasal 280 ayat 1 tentang Pemilihan Umum.

"Jadi nilai negatifnya itu langsung dilakukan, tapi perbuatan melakukan penilaian negatif itu pada saat yang sama ditujukkan untuk menjatuhkan elektabilitas kelompok lain. Jadi, kalau politisasi agama itu dimaknai secara negatif karena potensi kecurangan pelanggaran pemilunya harus masuk," ucapnya.

Menurutnya, politisasi agama penting dibahas di Munas-Konbes NU 2019 karena peristiwa ini diprediksi berlangsung hingga akhir tahun 2019. Namun yang lebih mengkhawatirkan, praktik politisasi agama tidak hanya bertujuan untuk menaikkan elektabilitas pasangan calon yang dipilih dan menjatuhkan elektabilitas lawan, tetapi sudah terindikasi memecah belah umat.

"Kalau setelah kampanye selesai, itu tidak ada masalah, tapi setelah diamplifikasi media sosial, Facebook,  itu ternyata suda ada indikasi hanya gara-gara pindah makam bagian dari perbedaan pilihan politik, pertentangan antar keluarga,” terangnya. Artinya bahwa ini tidak hanya soal politik elektoral saja, tetapi berpengaruh kepada persoalan kemanusiaan, lanjutnya.

Selain itu, putusan PBNU melalui Munas-Konbes NU juga dinilai penting sebagai pesan agar masyarakat, khususnya warga NU tidak langsung memercayai ketika menerima informasi yang belum dipastikan kebenaranya.

"Jadi kalau menerima informasi yang belum dipastikan kebenarannya, itu harus tabayyun dulu. Kemudian kalau menerima konten seperti itu jangan diteruskan (disebarkan)," jelasnya. (Husni Sahal/Ibnu Nawawi)