Nasional

Ini Problem Menguatnya Politik Identitas Keagamaan di Indonesia

Sel, 10 Oktober 2017 | 10:06 WIB

Jakarta, NU Online
Deputi Bidang Pengkajian dan Materi, Unit Kerja Presiden Pemantapan Ideologi Pancasila (UKP-PIP) Anas Saidi menilai, akhir-akhir ini praktik politik identitas keagamaan semakin meningkat. Bagi Anas, hal itu tidak menjadi masalah selama praktik tersebut berhenti sebagai sebuah kesadaran tentang keagamaan. 

“Problemnya sekarang itu membengkak sebagai suatu eksklusivisme,” kata Anas usai menjadi pembicara dalam acara Pendidikan dan Pengembangan Wawasan Keulamaan (PPWK) angkatan 2 di Gedung PBNU, Selasa (10/10).

Anas menjelaskan, secara demokrasi seseorang memilih calon pemimpin atas dasar agama itu adalah hal yang sah-sah saja dan tidak ada masalah. Seperti orang Islam memilih orang Islam dan orang Kristen memilih orang Kristen sebagai kepala daerah.

Namun yang menjadi persoalan adalah ketika ada orang beragama tertentu mengajak umat agamanya untuk memilih seseorang dengan melarang umat agamanya untuk memilih calon dari agama lainnya di ruang publik serta menyalahkan yang lainnya. 

Menurut dia, saat ini politik identitas keagamaan melampaui batas karena sudah menyasar ke ruang-ruang publik dan menyalahkan yang lainnya. Maka dari itu, praktik politik identitas keagamaan harus dikembalikan kepada proporsinya, yaitu seseorang boleh memilih calon pemimpin berdasarkan kesamaan agama dan etnis.

“Tetapi tidak boleh mengatakan yang lain salah dan yang lain dilarang,” tuturnya. “Selama dia tidak mengkampanyekan anti keagamaan di ruang publik, gak ada masalah,” lanjutnya. 

Selain itu, ada kelompok yang  juga ingin mengganti ideologi Pancasila sebagai falsafah bangsa dengan ideologi lainnya. 

“Itu problematis. Artinya bisa disebut sebagai sesuatu yang membahayakan secara ideologis,” urai peneliti senior di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia itu.

Anas menjelaskan, ada beberapa ruang keagamaan yang diperbolehkan di Indonesia seperti dibentuknya Bank Syariah, UU Perkawinan, dan lainnya. Salah satu yang tidak diperbolehkan adalah soal hukum pidana seperti potong tangan, rajam, dan lainnya.

“Aktualisasi Islam itu tidak dilarang oleh negara kecuali yang berkenaan dengan pidana,” ucapnya. (Muchlishon Rochmat/Abdullah Alawi)