Nasional ISLAM NUSANTARA (4)

Ini Tujuh Golongan Masyarakat di Zaman Wali Songo

Rab, 4 Maret 2015 | 22:02 WIB

Jakarta, NU Online
Menurut Sejarawan NU, Agus Sunyoto, pada zaman Walisongo terdapat tujuh struktur atau golongan masyarakat yang ditetapkan secara unik. Golongan tersebut diukur dari keterikatan seseorang dengan kebutuhan duniawi. Makin kuat keterikatan dengan materi duniawi, posisi seseorang paling rendah. Sementara orang yang tak memiliki keterikatan dengan duniawi, posisinya paling atas.<>

“Itulah golongan Brahmana. Mereka ini tinggal di hutan, di pertapaan, tidak pula punya kekayaan pribadi. Nah, mereka menempati posisi paling tinggi,” ujar Agus di hadapan para dosen Pascsarjana STAINU Jakarta.

Yang kedua, lapisan Ksatria. Golongan orang yang tidak diperbolehkan memiliki kekayaan pribadi tapi kehidupannya dijamin oleh institusi negara. “Waktu itu sudah ada istilah korupsi, korupsi itu kan mengumpulkan harta untuk pribadi. Ini ndak boleh ada,” tegasnya.

“Jadi, kalau ada ksatria punya kekayaan pribadi disebut ksatria panten: ksatria yang jatuh martabatnya. Dia tidak boleh dilayani. Kalau perlu dikucilkan. Karena dia abdi negara kok punya kekayaan pribadi, ndak boleh,” ungkap Agus.

Ketiga, lapisan Waisya. Itu golongan petani. Dia memiliki tugas menumbuhkan tanaman makanan untuk manusia. “Dia lebih rendah. Kenapa? Karena sudah punya rumah, sawah, dan ternak,” tuturnya.

Keempat, lanjut Agus, golongan Sudra. Siapa mereka? Menurut kitab Salokantara dan Nawanadya, yang dimaksud kaum Sudra itu ada beberapa kalangan: (1) saudagar. Orang yang memiliki kekayaan lebih. Pikirannya selalu tentang keuntungan. Lalu (2), rentenir (orang yang membungakan uang). Kemudian (3), orang yang meminjamkan perhiasan, pakaian, termasuk juga tuan tanah dan pemilik aneka kekayaan lainnya.

“Jadi, makin besar kekayaan seseorang, makin rendah kedudukannya. Mungkin konglomerat sekarang zaman dulu disebut Mahasudra. Karena kekayaannya berlebihan,” selorohnya disambut derai tawa para dosen Pascasarjana STAINU Jakarta.

Kelima, golongan Candala. Yakni orang yang hidup dari membunuh makhluk lain. “Jagal, pemburu, itu masuk di sini. Bahkan, aparat negara yang bergelar Singanegara dan Singamenggala, yaitu algojo yang membunuh pelanggar aturan pun masuk golongan ini,” paparnya.

Urutan berikutnya, keenam ada golongan Mleca. Yaitu semua orang asing yang bukan pribumi dan saudagar. Itu salah satu sebab Islam tidak mudah diterima masyarakat waktu itu. “Yang bawa Islam ke sini kan orang asing, dan saudagar yang sudra. Rangkep sudah. Jadi, pribumi ndak mau nerima,” tandasnya.

Nah, yang paling bawah atau ketujuh adalah golongan Tuja. Mereka yang hidupnya selalu merugikan masyarakat. Siapa mereka? Disebutkan riil, mereka adalah para penipu, pencuri (maling), perampok, begal, dan sejenisnya. “Pokoknya yang selalu merugikan orang lain. Koruptor masuk di sini,” tegasnya.

Walisongo itu Brahmana

Menurut Agus, para Walisongo menempati posisi Brahmana. Para sunan tersebut dianggap masyarakat sebagai orang suci. Oleh karena itu, Islam dengan mudah diterima penduduk. “Jadi, kalau ada teori bahwa Islam disebarkan oleh para saudagar, ndak masuk akal itu. Karena saudagar itu orang Sudra,” tandasnya.

Orang Sudra, lanjut Agus, tidak memiliki otoritas bicara soal agama. Karena ada aturan yang disepakati masyarakat waktu itu. “Jadi, yang boleh bicara tentang agama itu hanya Brahmana. Kalau Sudra yang cara berpikirnya keuntungan materi bicara agama, bisa jadi barang dagangan nanti,” ujarnya.

Jika ditarik ke era kekinian, menurut Agus, kiai merupakan gelar kebangsawanan brahmana. Bahkan, zaman Majapahit sudah ada gelar tersebut. Hingga zaman Mataram, orang yang tidak bergelar kiai tidak boleh mengajar. “Nggak boleh orang biasa menggunakan gelar kebangsawanan itu. Apalagi mengajar atau mendidik,” tandasnya. (Musthofa Asrori/Fathoni)