Nasional MODERASI BERAGAMA

Inspiration House Cirebon, Lahir dari Sudut Terminal, Tanamkan Pendidikan Toleransi kepada Anak-anak Marginal

Rab, 19 Oktober 2022 | 08:00 WIB

Inspiration House Cirebon, Lahir dari Sudut Terminal, Tanamkan Pendidikan Toleransi kepada Anak-anak Marginal

Di sudut terminal Harjamukti, Inspiration House Cirebon mendidik anak-anak marginal tentang pentingnya toleransi dan keberagaman. (Foto: dok. NU Online/Suci)

Cirebon, NU Online

Terminal Harjamukti tak hanya menjadi terminal induk terbesar di kawasan Cirebon, Jawa Barat. Namun terminal ini menjadi saksi berdirinya komunitas Inspiration House Cirebon yang bergerak dalam memanusiakan anak jalanan melalui pendidikan luar sekolah. 


Di tempat yang sederhana itu, pendiri Inspiration House Cirebon, Cici Situmorang bersama 15 relawan lainnya mendidikan dan mengajarkan anak-anak marginal tentang pentingnya toleransi dan keberagaman.


Anak-anak diajarkan keberagaman melalui perjumpaan, dialog dan interaksi dengan harapan dapat menanamkan rasa toleransi sejak dini dan bisa menjaga rasa persatuan dan kesatuan terhadap sesama.


Masyarakat Indonesia yang beragam berpotensi menjadi sumber diskriminasi oleh kelompok intoleran, berangkat dari persoalan itu founder Inspiration House Cirebon, Cici mendorong anak-anak untuk merayakan perbedaan dan keberagaman yang ada di tanah air.


“Kami fokus mengajak dan mengajarkan anak-anak jalanan dari Paud sampai SD bahkan sekarang para alumni yang sudah masuk SMP dan SMA masih sering mampir ke tempat kami untuk terus belajar,” kata Cici kepada NU Online, Selasa (11/10/2022).


“Saya ingin anak-anak dari tempat itu lahir menjadi orang-orang hebat biar pun mereka berbeda agama, etnis, ekonomi ataupun yang lain. Selain itu saya menginginkan anak-anak tidak terdiskriminasi oleh siapa pun lantaran saya pernah mengalami hal itu. Dan itu menyakitkan,” kata perempuan asal Lampung itu. 


Pendekatan persuasif

Cici menerangkan sebelum membuka kelas gratis bagi anak-anak jalanan dan tidak mampu, para relawan berkeliling dari rumah ke rumah langsung menemui orang tua dari si anak agar mereka dengan sukarela menitipkan anaknya belajar di Inspiration House. 


“Kami berkeliling ke satu daerah mendekati orang-orang yang kurang mampu dan anak jalanan mereka yang sekolah sekaligus kerja di jalanan baik berdagang atau minta-minta. Pokoknya kami dekati orang tuanya tanpa paksaan,” tutur Cici.

 

Salah satu kegiatan di Inspiration House Cirebon. (Foto: dok. NU Online/Suci)

 

Awal yang sulit karena harus meyakinkan orang tua bahwa apa yang akan diberikan kepada anak-anak itu tidak ada unsur sara sama sekali. Ia dan relawan lainnya berhasil membuktikan kekhawatiran orang tua anak didiknya sekaligus menjawab keraguan orang tua lainnya.


“Tiga minggu pertama kami blusukan ke rumah-rumah dan ke jalanan dari situ chemistry kami terbentuk,” imbuhnya.


Saat ini proses belajar dilakukan di dua tempat yakni Balai Pertemuan Kampung Larangan Utara, Harjamukti dan di terminal Harjamukti, jalan Ahmad Yani, Kecapi, Kecamatan Harjamukti, Kota Cirebon, Jawa Barat.


Mengenalkan Gus Dur lewat metode dongeng

Membangun komunitas yang konsen pada anak usia dini tentu bukanlah hal mudah berbagai cara dilakukan para relawan agar kebutuhan belajar bagi anak-anak ini tepat salah satunya dengan metode dongeng perdamaian yang diberi tema cilik-cilik kenal Gus dur, cilik-cilik anti korupsi, dan cilik-cilik juru bicara pancasila. 


“Untuk anak usia dini kami biasanya membacakan dongeng kadang pakai boneka dengan ekspresi yang sesuai. Kami juga mengenalkan sosok Gus Dur yang bisa membaur dengan siapa pun tanpa pandang agama. Ini semua tidak terlepas dari ilmu yang saya peroleh dari komunitas Gusdurian di Cirebon,” kata Tyrza, salah satu pengajar di Inspiration House Cirebon. 


Selain itu komunitas ini membuka mata pelajaran toleransi anak-anak usia dini dengan rutin melakukan kunjungan ke rumah ibadah lintas iman di daerah Cirebon. Tidak hanya sekedar berkunjung anak-anak tersebut dikenalkan dengan ritual peribadatan lima agama di Indonesia.


“Kami biasanya mendelegasikan mereka untuk pergi ke gereja katolik, nasrani, masjid karena relawan kami banyak yang muslim juga. Dan doa lintas agama juga diselenggarakan rutin tiap tahun,” terangnya.

 

Kegiatan mengenalkan sosok Gus Dur sebagai tokoh humanis. (Foto: dok. NU Online/Suci)

 

Toleransi warisan dari Sunan Gunung Jati

Diakui Tyrza, pengaruh kebudayaan di Cirebon bergulat di hampir semua bagian arsitektur kompleks keraton dan lambang negara utamanya gaya Hindu, Islam dan China. Contohnya ketiga keraton yang menjadi pemangku adat menanggung amanat untuk menjaga percampuran budaya itu berjalan damai. 


Sebab itu anak-anak tak hanya dikenalkan toleransi lewat rumah ibadah berbagai agama tetapi juga melalui kebudayaan yang ada. 


“Toleransi nggak cuma soal agama tapi bagaimana budaya harus dikenalkan. Di keraton juga ada peninggalan putri Tionghoa yang menjadi istri Gunung Jati Cirebon. Biasanya kami ajak anak-anak ke sana,” bebernya. 


Belajar bahasa asing

Anak-anak tidak hanya diajarkan soal keberagaman saja mereka juga diajarkan soft dan hard skill bahasa Inggris dan bahasa Jepang oleh para relawan. “300 anak dari dua tempat ini rutin kami ajarkan bahasa asing supaya dapat menunjang kemampuan mereka di sekolah masing-masing,” jelasnya. 


Alfath siswa kelas 6 SD yang bergabung di Inspiration House Cirebon sejak dua tahun lalu mengaku senang lantaran mendapatkan pendidikan lebih gamblang tentang pancasila dan bisa belajar bahasa asing.


“Senang bisa belajar bahasa Inggris gratis, dapat ilmu banyak dulunya saya gak bisa. Terus saya juga diceritakan cara menghargai orang lain, gak boleh bedakan agama, menghormati orang tua, bergotong royong,” kata Alfath.


Salah satu alumni Inspiration House Cirebon, Eka Wulan Yunita mengaku senang bisa menjadi bagian dari komunitas ini pasalnya mampu membuka ruang bicara sekaligus menepis prasangka negatif  kepada agama-agama tertentu.


“Awalnya agak canggung karena dulu saya punya rasa nggak suka kepada mereka yang non muslim namun setelah saya gabung dalam komunitas ini ternyata pandangan saya salah. Orang tua awalnya gak nerima tapi waktu itu teman-teman komunitas sering datang ke rumah lama-lama orang tua tahu jadi nggak melarang lagi,” tutur Eka.


“Komunitas ini betul-betul membuka pandangan bahwa orang-orang yang berbeda agama tidak sepenuhnya buruk dan anak-anak jalanan betul-betul dihargai. Saya jadi belajar banyak hal dari komunitas ini,” jelasnya.


Penulis: Suci Amaliyah

Editor: Fathoni Ahmad

 

====================

Liputan ini hasil kerja sama dengan Biro Humas, Data, dan Informasi Kementerian Agama RI.