Nasional

Integrasi Dagang Harus Dibangun untuk Pangkas Regulasi

Sel, 27 Agustus 2019 | 05:45 WIB

Integrasi Dagang Harus Dibangun untuk Pangkas Regulasi

Abdul Aziz Hasyim Wahid (kanan) saat menyampaikan pandangannya pada diskusi publik dengan tema Dampak Perang Dagang Amerika-China terhadap Indonesia yang digelar oleh Front Mahasiswa Nahdlatul Ulama (FMNU) di Tebet, Jakarta Selatan, Senin (26/8).

Jakarta, NU Online
China memiliki sistem terbaik dalam perdagangan dengan membuat integrasi yang apik melalui platform teknologi digital. Para konsumen dalam membeli sesuatu langsung otomatis terpotong melalui rekening banknya masing-masing, tanpa perlu untuk mengisi ulang dompet digital di platform-nya.

Taufik Hidayadi, alumni Fellow Students di Universitas Jinan, Guangzhou, China  menjelaskan bahwa sampai saat ini, jika ia hendak membeli sesuatu di Alibaba langsung memotong dari tabungan banknya yang sudah terintegrasi dengan platformnya.

“Di Alibaba itu langsung memotong dari tabungan Bank. Tidak perlu ngisi token lagi, jadi bypass,” katanya pada diskusi yang digelar oleh Front Mahasiswa Nahdlatul Ulama (FMNU) dengan tema Dampak Perang Dagang Amerika-China terhadap Indonesia di Tebet, Jakarta, Selatan, Senin (26/8).

Baik jual beli berskala kecil maupun besar, sudah cukup dengan menggunakan ponsel pribadinya. Meskipun terlihatnya sepele, tetapi menurutnya hal tersebut berdampak besar terhadap ekonomi. “Itu regulasi sepele tapi secara ekonomi sangat besar,” katanya.

Sementara di Indonesia, hal tersebut belum ada. Regulasinya masih cukup ribet mengingat harus verifikasi KTP sampai NPWP dan sebaginya. “Sedangkan saya pakai wechat saya bisa beli barangnya. Tinggal nanti pengirimannya saja. begitu mudahnya orang bertransaksi,” katanya.

Pengajar di Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) itu cukup menyanagkan dengan potensi Indonesia yang cukup besar tetapi belum tergarap dengan baik. Pasalnya, Indonesia merupakan negara dengan pengguna internet terbesar kelima di dunia.

“Kita hanya hantam-hantaman. Kita menyingkirkan anak muda yang punya aplikasi,” katanya.

Melihat fakta demikian, Pemerhati Geopolitik-Ekonomi Abdul Aziz Hasyim Wahid menilai bahwa dalam persoalan tersebut, China memang yang merajainya. “Untuk integrated outsourcing, China belum ada tandingannya,” jelasnya.

Sementara itu, Pembina FMNU Hery Haryanto Azumi mengungkapkan bahwa Presiden Joko Widodo memiliki kepedulian terhadap persoalan itu. Hal tersebut terbukti dengan berkali-kali dalam beberapa kesempatan menyampaikan industri startup Indonesia potensial.
 
“Beberapa kali mengatakan Indonesia adalah tempat yang sangat subur untuk industri startup yang bermuatan teknologi lebih besar,” katanya.

Ia juga mengungkapkan bahwa jika pun Indonesia akan membangun sistem integrasi sebagaimana yang diterapkan oleh China, tentu dengan konsep yang berbeda.
 
“Konsepnya pasti berbeda karena Tiongkok memiliki model yang berbeda, Partai komunis mengendalikan pengusaha. Kalau di Indonesia kan pengusaha dan politik saling membantu, mendukung dan saling berkongsi istilahnya,” katanya. 

Hal tersebut, menurutnya, harus diturunkan sampai level pasar dan produksinya. “Yang pasti kita harus berbeda dengan Amerika, dengan China, kita menyusun sendiri agenda kita demi kepentingan bangsa kita,” katanya.

Sebab, katanya, pengembangan sistem tersebut harus dengan niatan menumbuhkan industri lokal sehingga mampu bersaing dengan konteks global tadi.

Pewarta: Syakir NF
Editor: Fathoni Ahmad