Nasional EKSPEDISI ISLAM NUSANTARA (23)

Iwak Telu Sirah Sanunggal: Simbol Tarekat Cirebon

Rab, 20 April 2016 | 19:03 WIB

Ketika masuk dalam kompleks Keraton Kacirebonan dan Keraton Keprabon kerap terlihat simbol-simbol yang terpampang, salah satunya simbol tiga ikan yang kepalanya menyatu (iwak telu sirah sanunggal), yang terukir indah di beberapa daun pintu, ada pula yang menempel di sisi-sisi atas dinding keraton.

Kenapa simbol itu digunakan dan apa landasan maknanya. Raffan S Hasyim, sejarawan Cirebon menguraikan, asal mula simbol ikan bersumber dari manuskrip-manuskrip Cirebon abad 19 yang belakangan kemudian dijadikan lambang resmi Keraton Kacirebonan. Ia merupakan ilustrasi ajaran tarekat Syattariyah yang menjelaskan makna ora pecat (kebersatuan), baik antara Adam (manusia) Mahammad (syariat) dan Allah, antara jasad, roh dan Allah, maupun kesatuan tauhid antara zat, sifat dan af 'al (perbuatan).

Dengan mengutip Kitab Babon Petarekatan. Opan, panggilan akrab Raffan S Hasyim menambahkan, simbol ikan dapat juga dimaknai sebagai ilustrasi konsep manunggaling kawula gusti (wihdatul wujud) atau penggambaran dari penjelasan ayat  wallahu ‘ala kulli syaiin mukhit (Sesungguhnya Allah atas segala sesuatu Maha Meliputi).

Simbolisme ikan dalam ajaran tarekat menurut Mahrus El-Mawa, filolog Cirebon, menunjukkan bahwa sejak dulu di Cirebon telah terjadi pribumisasi Islam atau yang lebih khusus, pribumisasi tarekat. Dalam konteks ini, tarekat Syattariyah yang berasal dari negeri luar (India), oleh kecerdasan dan kreatifitas para ulama Cirebon disesuaikan dengan kultur lokal masyarakat Cirebon melalui proses akulturasi.

Kenapa ikan, bukan ilustrasi benda lainnya? Dalam disertasinya di Universitas Indonesia yang meneliti isi manuskrip Cirebon, Sattariyyah wa Muhammadiyyah, Mahrus berhipotesa bahwa masyarakat Cirebon yang merupakan masyarakat nelayan, masyarakat pesisir, sangat akrab dengan ikan. Jadi, simbolisasi ikan akan lebih mudah dimengerti oleh masyarakat Cirebon dalam memahami ajaran tasawuf, yang kemudian diamalkan menjadi laku spiritual kehidupan sehari-hari.

Tarekat di Cirebon

Tidak ada, atau tepatnya belum ditemukan catatan historis yang dapat memastikan kapan dan tarekat mana yang mula-mula berkembang dan menjadi terlembagakan sebagai organisasi spiritual yang hadir di Nusantara. Kendati demikian, Martin van Bruinessen berpandangan bahwa berdasarkan Serat Banten Rante-rante, Sunan Gunung Jati pernah melakukan perjalanan ke tanah Suci dan berjumpa dengan Syaikh Najmuddin Kubra dan Syaikh Abu Hasan Asy- Syadzili.

Dalam bukunya, Kitab Kuning: Pesantren dan Tarekat, Tradisi-tradisi Islam di Indonesia, Martin menduga, dari kedua tokoh berlainan masa itu sang sunan konon menjadi pengikut Tarekat Kubrawiyyah dan Syadziliyyah sekaligus memperoleh ijazah kemursyidan dari keduanya. Meski jika mengacu pada data kronologi sejarah tentu saja pertemuan fisik antara Sunan Gunung Jati yang hidup di abad 16 dengan Syaikh Abul Hasan Asy-Syadzili yang wafat di abad 13, apalagi dengan Syaikh Najmudin Kubra yang wafat pada tahun 1221 M, secara faktual tidaklah mungkin.

Terlepas dari kebenaran cerita dalam Serat Banten Rante-rante, Agus Sunyoto justru menyuguhkan data yang berbeda, meski tidak terlembagakan, mengacu pada naskah-naskah Wangsakerta, dalam buku Suluk Abdul Jalil, Agus menyebut bahwa tarekat yang awal mula berkembang di Cirebon adalah tarekat Syattariyah yang dibawa oleh Syekh Datuk Kahfi, guru spritualnya Syekh Siti Jenar, pembawa ajaran tarekat Akmaliyah. Mengapa tidak terlembagakan, karena, lanjut Agus, dalam tradisi tarekat pertama kali tidak mengenal konsep jama'ah dalam mujahadah sehingga dilakukan sendiri-sendiri.

Dinamika Syattariyah di Cirebon kemudian mengalami perkembangan seiring dengan kemunculan tokoh-tokoh Syattariyah lokal di Cirebon. Para tokoh tersebut mengembangkan Syattariyah di lingkungan kraton dan pesantren sesuai dengan silsilah wirid dan dzikir dari setiap guru (mursyid). Kiai Muhammad Arjain diduga mengembangkan Syattariyah di Kraton Kacirebonan dan Kanoman melalui jalur Syekh Abd al-Muhyi. Kiai Muqayyim mengembangkan Syattariyah di lingkungan tertentui. Kiai Anwaruddin Kriyan diyakini mengembangkan Syattariyah di Pesantren Buntet dan Pesantren Bendakerep. Pangeran Jatmaningrat Muhammad Safiuddin diyakini mengembangkan Syattariyah di Kraton Keprabonan, Kanoman, Kasepuhan, dan Pesantren Balerante. Yang disebut terakhir inilah silsilah Syattariyah Cirebon memiliki kekhasan simbolisme iwak telu sirah sanunggal yang tidak dapat ditemui dalam silsilah Syattariyah Pamijahan, Minangkabau, Aceh maupun daerah lainnya. Wallahu a’lam. (Abro)