Nasional

Jika Awal Ramadhan Tahun Ini Berbeda, Bagaimana Sikap Kita?

Sen, 6 Maret 2023 | 18:30 WIB

Jika Awal Ramadhan Tahun Ini Berbeda, Bagaimana Sikap Kita?

Jika Awal Ramadhan Tahun Ini Berbeda, Bagaimana Sikap Kita?. (Foto: NU Online/Freepik)

Jakarta, NU Online

Data perhitungan hisab falak mengenai hilal awal Ramadhan 1444 H sudah memenuhi kriteria imkan rukyah, yakni 8 derajat 00 menit 05 detik di atas ufuk dengan elongasi yang besar pula, 9 derajat 43 menit 10 detik. Jika hilal dapat terlihat, awal Ramadhan 1444 H akan dilaksanakan bersama pada Kamis, 23 Maret 2023.


Namun, potensi perbedaan awal Ramadhan 1444 H tetap terbuka. Pasalnya, ketinggian hilal belum memenuhi kriteria qathiy rukyah yang ditetapkan Lembaga Falakiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LF PBNU), yaitu elongasi 9,9 derajat.


Jika perbedaan awal Ramadhan 1444 H terjadi, umat Islam perlu menyikapinya secara arif, yaitu dengan saling memahami satu sama lain akan akar perbedaannya. Hal demikian diungkapkan Ketua LF PBNU KH Sirril Wafa kepada NU Online pada Senin (6/3/2023).


"Karena perbedaan Indonesia seperti ini sudah berkali berulang dan menjadi tidak asing lagi bagi umat Islam, maka seharusnyalah saatnya masing-masing anggota kelompok yang berbeda memahami akar perbedaannya, dan tidak ambil sikap apriori," ujarnya.


Sebab dengan mengetahui duduk persoalannya, kata Kiai Sirril, diharapkan satu sama lain bisa saling memahami.


Semua harus bisa memahami bahwa perbedaan ini sejatinya bukan termasuk masalah pokok. Namun hanya pada tingkat persoalan cabang (furu'iyah), yang pada dasarnya teks-teks agama atau nash yang menjadi rujukan adalah sama.


Oleh karena itu, menurutnya, harus ada upaya peningkatan pemahaman lanjutan yang memungkinkan pencarian solusi untuk sama-sama bergerak menuju titik temu, tanpa menonjolkan ego golongan.


"Jangan sampai perbedaan ini mengkristal menjadi identitas permanen," ujar dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini.


Sebagaimana diketahui, perbedaan tersebut hanya pada pemahaman fiqihnya. Ada yang memahami seperti adanya teks hadits, yakni harus sesuai hasil rukyat. Jika tak berhasil, maka yang terjadi harus ikmal/istikmal (genapkan umur bulan berjalan menjadi 30 hari) apapun keadaanya.


Namun, ada pula yang memahami bahwa rukyat secara mutlak bisa digantikan hisab falakiyah. Bahkan sekalipun hilal dipastikan belum terbentuk.


Ada pula yang memahami secara proporsional antara teks hadits dan data falakiyah. Model ini terbagi dalam beberapa versi. Pertama, ada yang mengartikan kita rukyat dengan kemungkinan hilal bisa dirukyat (imkan rukyat) yang diformalkan dengan kriteria-kriteria tertentu dan beragam. Namun, kini di Indonesia sudah mengarah ke kriteria baru MABIMS, yakni tinggi hilal minimal 3 derajat dan elongasi minimal 6,4 derajat.


"Pendapat seperti ini ada yang mengamalkan langsung, baik untuk perhitungan kalender maupun untuk penentuan awal puasa Ramadhan dan mengakhirinya," ujarnya.


Kedua, ada yang seperti poin pertama, namun dengan hanya untuk perhitungan resmi kalender. Sementara untuk penentuan awal dan akhir Ramadhan harus diverifikasi dengan hasil rukyat, seperti yang sampai saat ini diamalkan oleh PBNU.


"Sebagai tambahan catatan, tampaknya masalah yang terakhir ini masih mungkin bisa berkembang melalui kajian-kajian fiqhiyah-nya," ujarnya.


Pewarta: Syakir NF
Editor: Muhammad Faizin