Opini

Pembenahan Kriteria Imkan Rukyah dan Hadidul Bashar

Rab, 27 April 2022 | 09:00 WIB

Pembenahan Kriteria Imkan Rukyah dan Hadidul Bashar

Diagram sederhana langit barat saat ghurub, dengan ufuk (garis merah), kriteria imkan rukyah lama (garis kuning) dan kriteria IRNU (garis putih). (Sumber: Sudibyo, 2022).

Dalam kesempatan ikhbar awal Ramadhan 1443H pada Jumat 1 April 2022 lalu, Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf menyampaikan bahwa pada saat ini Nahdlatul Ulama memiliki norma baru terkait penetapan awal bulan Hijriyyah. Norma baru yang diputuskan dalam Muktamar Ke–34 tahun 2021 diderivasikan ke dalam bentuk kriteria Imkan Rukyah Nahdlatul Ulama (IRNU) yang ditetapkan Lembaga Falakiyah PBNU.


Segenap struktur organisasi Nahdlatul Ulama dalam segenap tingkatan diminta untuk taat asas organisasi dengan mengikuti kriteria yang telah ditetapkan di PBNU. Namun demikian warga Nahdlatul Ulama nonstruktural masih diperkenankan jika berkeinginan mengikuti imkan rukyah yang lama, hanya kali ini di bawah kondisi hadidul bashar


Pembenahan Kriteria


Seperti telah dijelaskan dalam tulisan sebelumnya, kriteria imkan rukyah dalam Nahdlatul Ulama memiliki fungsi ganda: sebagai landasan untuk penerimaan laporan terlihatnya hilal (syahadah) sekaligus sebagai tolok ukur dalam penyusunan almanak dan kalender.


Terlihatnya hilal yang disahkan kriteria imkan rukyah berlaku untuk seluruh Indonesia di bawah konteks wilayatul hukmi. Demikian pula setiap tanggal 1 Hijriyyah yang dihitung atas dasar kriteria imkan rukyah juga berlaku secara wilayatul hukmi.


Saat ini telah terjadi pembenahan kriteria imkan rukyah yang digunakan Nahdlatul Ulama dari kriteria lama menjadi kriteria IRNU (baru), walaupun prosedur pemberlakuannya tetap sama (waktu ghurub sebagai acuan dan menerapkan wilayatul hukmi).


Dalam kriteria lama, awal bulan Hijriyyah telah terjadi saat tinggi hilal minimal 2 derajat dan umur hilal minimal 8 jam sejak ijtimak atau elongasi hilal minimal 3 derajat. Sedangkan dalam kriteria IRNU, “Awal bulan Hijriyyah telah terjadi saat tinggi hilal minimal antara 3 derajat hingga 6 derajat yang bergantung kepada jarak–datar (beda azimuth) antara Bulan dan Matahari saat itu”. Uraian tersebut merupakan derivasi dari tinggi hilal mar’i minimal 3 derajat dan jarak lengkung (elongasi) hilal haqiqy minimal 6,4 derajat. 


Mengapa Nahdlatul Ulama membenahi kriteria imkan rukyah–nya ?


Alasan utamanya adalah lingkungan saat ini yang sudah berubah. Kebutuhan umat manusia akan sumber–sumber energi menyebabkan terjadinya konsumsi bahan bakar minyak, gas dan batubara secara besar–besaran dan berkelanjutan dalam satu setengah abad terakhir.


Tingkat konsumsinya pun kian meningkat dalam kurun setengah abad terakhir. Pembakaran batubara, minyak dan gas bumi melepaskan miliaran ton gas karbondioksida dan partikulat mikro jelaga ke lingkungan dalam setiap tahunnya. Terjadilah polusi udara berskala masif yang tak pernah dialami Bumi kita sebelumnya. 


Akumulasi gas karbondioksida di atmosfer bumi menyekap panas yang seharusnya dipancarkan Bumi ke angkasa. Terjadilah pemanasan global. Permukaan bumi kian memanas memicu terjadinya perubahan iklim.


Bagi negara maritim seperti Indonesia, perubahan iklim bermanifestasi produksi uap berlebihan yang menyebabkan cuaca ekstrem kian kerap. Jika dahulu musim di Indonesia didominasi oleh embusan sistem angin muson antara India dan Australia, maka pemanasan global menyebabkan Samudera Indonesia (Hindia) dan Samudera Pasifik menjadi lebih dinamis sehingga kian kerap mendominasi. Musim hujan yang mengalami perpanjangan, seperti dialami Indonesia pada tahun 2022 ini, adalah konsekuensi yang tak terhindarkan. Langit yang lebih sering tertutupi mendung dan hujan menyebabkan upaya mengamati benda-benda langit menjadi kian sulit. Termasuk hilal. 


Sedangkan akumulasi partikulat mikro jelaga menyajikan dampaknya berbeda. Terlihatnya hilal merupakan implikasi dari intensitas cahaya bulan yang lebih besar dibanding intensitas cahaya langit senja pasca-ghurub sehingga lengkungan sabit bulan mempunyai nilai kontras yang mencukupi guna diidentifikasi mata manusia maupun sensor elektronik (kamera). Sementara partikel-partikel jelaga mempunyai sifat menghamburkan cahaya sehingga akumulasi partikulat mikro jelaga di atmosfer menyebabkan intensitas cahaya benda langit yang melewati atmosfer menjadi berkurang saat tiba di permukaan bumi.


Proses ini akan mencapai maksimal untuk benda-benda langit yang berkedudukan tidak jauh dari ufuk, termasuk hilal. Akibatnya benda-benda langit tersebut (termasuk hilal) akan menjadi lebih redup saat kita lihat sehingga apa yang dahulu mudah dilihat, kini menjadi lebih sulit.


Selain faktor lingkungan, alasan lain dari pembenahan kriteria imkan rukyah adalah visi internasional Nahdlatul Ulama. Seperti disampaikan KH Yahya Cholil Staquf dalam sambutan tertulisnya saat membuka kegiatan Webinar Nasional “Mengenal Kriteria Imkan Rukyah Nahdlatul Ulama dan Aplikasinya” dalam rangka memasuki Abad Kedua NU, Nahdlatul Ulama kian menapakkan kaki ke kancah internasional.


Kriteria IRNU yang diputuskan Lembaga Falakiyah PBNU berakar dari kriteria Neo-MABIMS. Kriteria yang telah menjadi konsensus ahli-ahli falak di lingkup Asia Tenggara, khususnya di negara-negara Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam dan Singapura. Sebagai penghormatan atas konsensus internasional tersebut (khususnya dalam regional Asia Tenggara), Nahdlatul Ulama pun membenahi kriteria imkan rukyah-nya menjadi kriteria IRNU.


Hadidul Bashar

Jumhur ulama dalam penentuan awal bulan Hijriyyah, terutama untuk tiga bulan penting (yakni Ramadhan, Syawwal dan Dzulhijjah), berpedoman pada rukyah, yakni aktivitas ibadah untuk melihat lengkungan sabit Bulan yang baru (هلال) dengan mata kepala (رؤية بصرية) dan bukan dengan estimasi ilmiah (رؤية علمية). Bila penglihatan riil dengan mata tidak dapat terjadi karena terhalangi sesuatu (umumnya awan), maka jumhur ulama menyepakati bulan Hijriyyah yang sedang berjalan digenapkan menjadi 30 hari. Dasarnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah RA bahwa Nabi SAW bersabda:


صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته، فإن غبي عليكم فأكملوا عدة شعبان ثلاثين يوما. متفق عليه 


Artinya: “Berpuasalah kamu ketika telah melihat hilal (Ramadhan) dan berhentilah kamu dari puasa ketika telah melihat hilal (Syawwal), jika hilal tertutup bagimu maka genapkanlah bulan (Sya'ban / Ramadhan) menjadi 30 hari.” (HR Bukhary dan Muslim).


Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar RA, Nabi SAW bersabda:


لا تصوموا حتى تروا الهلال ولا تفطروا حتى تروه، فإن غم عليكم فاقدروا له


Artinya: “Janganlah kamu berpuasa sehingga kamu melihat hilal (Ramadhan) dan janganlah kamu berhenti berpuasa sehingga kamu melihat hilal (Syawwal), jika hilal tertutup bagimu maka sempurnakanlah (Sya'ban/Ramadhan).”


Menurut jumhur ulama, teks (فأكملوا الخ) dalam sabda Nabi SAW yang diriwayatkan Abu Hurairah RA merupakan tafsir atau penjelasan terhadap teks (فاقدروا له) pada sabda Nabi SAW yang diriwayatkan Ibnu Umar RA, yang bermakna: sempurnakanlah bilangan menjadi 30 hari.


Dalam uraian di atas, telah diketahui bahwa kriteria imkan rukyah menjadi landasan untuk penerimaan laporan terlihatnya hilal dalam aktivitas rukyah hilal. Apabila terdapat kesaksian hilal, sementara verifikasi menunjukkan kondisi cuaca di titik rukyah tersebut memungkinkan untuk mengamati benda langit berkedudukan rendah (di atas ufuk) dan parameter hilal setempat telah memenuhi kriteria IRNU, maka kesaksiannya diterima dan menjadi dasar untuk menetapkan awal bulan Hijriyyah yang baru.


Lalu bagaimana jika terdapat laporan terlihatnya hilal padahal parameter hilal di lokasi tersebut masih di bawah kriteria IRNU? Sedangkan di masa silam laporan demikian umumnya diterima? 


Di sinilah pentingnya konsep hadidul bashar (حَدِيدُ الْبَصَرِ). Dalam hal ini terdapat pendapat dari Imam Ibnu Hajar Al-Haitami sebagaimana tercantum dalam Kitab Tuhfatul Muhtaj, juz III/372, berikut: 


قَوْلُهُ) أَوْ رُؤْيَةِ الْهِلَالِ بَعْدَ الْغُرُوبِ إلَخْ (لَوْ رَآهُ حَدِيدُ الْبَصَرِ دُونَ غَيْرِهِ فَالظَّاهِرُ أَنَّهُ لَا يَثْبُتُ بِهِ عَلَى الْعُمُومِ وَهَلْ يَثْبُتُ فِي حَقِّ نَفْسِهِ م ر وَقَدْ يُقَالُ إنْ كَفَى الْعِلْمُ بِوُجُودِهِ بِلَا رُؤْيَةٍ ثَبَتَ بِرُؤْيَةِ حَدِيدِ الْبَصَرِ بِلَا تَوَقُّفٍ وَيُفَرَّقُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ بِنَحْوِ أَنَّ لَهَا بَدَلًا حَيْثُ لَا يَلْزَمُ بِسَمَاعِ حَدِيدِ السَّمْعِ أَحَدًا حَتَّى السَّامِعَ كَمَا هُوَ ظَاهِرُ كَلَامِهِمْ وَفِيهِ نَظَرٌ سم [ابن حجر الهيتمي ,تحفة المحتاج في شرح المنهاج وحواشي الشرواني والعبادي ,3/372]


Dengan penjelasan tersebut, maka perukyah yang melaporkan terlihatnya hilal meskipun parameternya di bawah kriteria IRNU dikategorikan ke dalam hadidul bashar. Perukyah demikian merupakan sosok yang dianugerahi kemampuan penglihatan yang lebih baik dan lebih tajam ketimbang rata-rata manusia pada umumnya sehingga hasil rukyah-nya juga berterima secara fiqih. Akan tetapi fiqih juga menggarisbawahi bahwa kedudukan hadidul bashar adalah identik dengan kedudukan seorang hasib. Dengan demikian keduanya sama-sama dapat menggunakan hasil kerjanya (hasil rukyah untuk hadidul bashar dan hasil metode falak untuk hasib) hanya untuk dirinya sendiri dan orang-orang di sekitarnya yang mempercayainya. 


Dalam konteks demikianlah, Nahdlatul Ulama tetap menghormati hadidul bashar, khususnya dalam masa transisi dari kriteria lama menuju kriteria IRNU. Namun secara organisatoris, struktur Nahdlatul Ulama mengacu kepada ikhbar PBNU. Ikhbar yang berdasarkan hasil rukyah dihimpun Lembaga Falakiyah PBNU dan diputuskan berdasarkan kriteria IRNU. 


Ustadz Muh. Ma’rufin Sudibyo dan KH Ahmad Yazid Fatah, pengurus Lembaga Falakiyah PBNU masa khidmat 2022-2027.