Nasional

Kasus Kamus Sejarah Kemendikbud, Peneliti: Pemerintah Harus Investigasi dan Transparan

Rab, 21 April 2021 | 11:45 WIB

Kasus Kamus Sejarah Kemendikbud, Peneliti: Pemerintah Harus Investigasi dan Transparan

Penulis buku "Gus Dur, Islam Nusantara, dan Kewarganegaraan Bineka", Ahmad Suaedy. (Foto: dok. istimewa)

Jakarta, NU Online

Nama Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari dan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tidak tercantum dalam Kamus Sejarah Indonesia Jilid I dan II yang diterbitkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) pada 2017. Hal ini diperparah dengan kemunculan nama Abu Bakar Ba’asyir dengan narasi yang diperhalus.


Peneliti Gus Dur Ahmad Suaedy meminta pemerintah harus bertanggung jawab dengan melakukan investigasi. “Itu ada usaha untuk menghapus. Itu saya kira harus ada yang bertanggung jawab. Sepertinya ini sengaja. Harus dilakukan investigasi sampai diketemukan mengapa itu terjadi. Pemerintah harus transparan diumumkan kenapa itu terjadi,” kata Suaedy kepada NU Online pada Rabu (21/4).


Memang, untuk sementara sudah ada penjelasan. Namun, penjelasan yang disampaikan belum menunjukkan investigasi. Jika hal tersebut merupakan kebijakan kementerian, pemerintah harus menunjukkan keseriusannya dengan membuktikannya bahwa hal tersebut bukan suatu kesengajaan.


“Pemerintah harus bertanggung jawab dalam arti memberikan penjelasan transparan. Penjelasan sudah, tapi belum menunjukkan hasil investigasi, baru hasil sementara,” kata Dekan Fakultas Islam Nusantara Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) itu.


Lebih lanjut, ia meminta buku tersebut harus segera dikoreksi, diperbaiki, dan ditulis ulang. “Dilakukan koreksi dan ditulis ulang,” kata penulis buku Gus Dur, Islam Nusantara, dan Kewarganegaraan Bineka itu.


Suaedy menjelaskan bahwa KH Hasyim Asy’ari merupakan peletak pondasi negara bangsa. Jika dia dihilangkan (dari sejarah), negara ini bisa runtuh karena merupakan pendiri dan penjaga dari bangsa ini.


Peran tokoh dalam sejarah, menurutnya, amat penting. Apalagi sosok pendiri Nahdlatul Ulama itu berperan penting dalam mencetuskan Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 yang menjadi dasar Perang 10 November 1945.


“Bayangkan kalau tidak ada 10 November itu, apa yang terjadi dengan Indonesia. Mungkin belum merdeka. Legitimasi Mbah Hasyim Asy’ari besar. Tidak bisa dilupakan dan diabaikan. Sukarno sangat mengenal Kiai Hasyim. Setiap kali akan mengambil keputusan selalu berkonsultasi, terkait satu sama lain, tidak bisa dipisahkan,” terangnya.


Sementara itu, KH Abdurrahman Wahid atau yang lebih dikenal dengan sebutan Gus Dur merupakan salah satu pondasi yang meletakkan pemahaman Pancasila bisa dipahami seperti saat ini. Ketika Indonesia mengalami goncang sebelum dan saat reformasi, Gus Dur memberikan andil besar menjaga persatuan bangsa.


Pewarta: Syakir NF

Editor: Fathoni Ahmad