Nasional

Kebebasan Ekspresi bagi Perempuan Diperlukan untuk Tekan Ekstremisme

Sel, 12 Mei 2020 | 11:00 WIB

Kebebasan Ekspresi bagi Perempuan Diperlukan untuk Tekan Ekstremisme

Alasan perempuan bergabung dengan kelompok terorisme karena selalu mendapatkan doktrin yang kaku

Jakarta, NU Online
Aktivis perempuan yang juga pengamat terorisme Debbie Affianty menyatakan bahwa memberikan kebebasan ekspresi bagi kaum perempuan sangat diperlukan untuk menekan gerakan ekstremisme di Indonesia. 

Menurutnya, berdasarkan hasil temuan dan pemantauannya terhadap mantan teroris perempuan Indonesia, alasan mereka bergabung dengan kelompok terorisme karena selalu mendapatkan doktrin yang kaku, artinya selalu dihadapkan pada satu perspektif. 

Misalnya perempuan tidak boleh melakukan hal-hal yang pada umumnya diperbolehkan oleh sistem sosial dan aturan negara. Karena kebiasaan itu pula dia memiliki pemahaman yang sempit terkait ajaran agama Islam. Akibatnya, perempuan tersebut tidak memiliki critical thinking sehingga apa pun doktrin yang diterima dari keluarga atau suami selalu diikuti. 

“Jadi membatasi ekspresi perempuan juga bisa berakibat pada terbatasnya pandangan dia soal kehidupan termasuk dalam memahami agama. Kita harus memberikan kesempatan mereka untuk mengekspresikan dirinya, diberikan ruang ekspresi, ruang berdebat,” kata Debbie Affianty saat menjadi narasumber bedah buku The Ilusion of an Islamic State-Bagimana Masa Depan Gagasan Negara Islam yang digelar secara virtual oleh Yayasan LkiS dan International NGO Forum on Indonesian Devlopment (INFID), Selasa (12/5) pagi. 
 
Relasi gerakan terorisme dan perempuan di Indonesia, lanjut dia, sangat mungkin terjadi mengingat bukti-bukti perempuan Indonesia yang bergabung dengan Islamic State Irak dan Syuriah (ISIS) angkanya lumayan tinggi. Meskipun terdapat ragam alasan mengapa mereka bergabung dan ikut terlibat gerakan ISIS. 

Pada prinsipnya, perempuan harus mendapatkan haknya sebagai umat beragama dan umat manusia. Sebab, pengakuan mantan kombatan perempuan ISIS Indonesia hidupnya selalu mendapat larangan berpendapat oleh keluarganya ketika ada sesuatu yang janggal dalam pemahamannya. 

“Saat ini juga masih ditemukan di ruang-ruang lain. Misalnya dalam hasil penelitian saya dan PPIM UIN Jakarta, ada salah satu institusi home schooling yang melarang perempuan berdebat karena suara perempuan itu aurat. Jika hak itu saja sudah dipotong maka akan mematikan critical thinking-nya,” tutur perempuan yan juga dosen di Universitas Muhammadiyah Jakarta ini. 

Ia menjelaskan, pelibatan perempuan dalam gerakan terorisme di berbagai belahan dunia merupakan strategi baru untuk mewujudkan negara Islam. Doktrin agama tersebut telah mengalahkan fitroh perempuan yang lemah lembut dan penuh kasih sayang.   

“Perempuan itu secara lahiriah lemah lembut, tidak menyakiti orang lain. Dia itu tidak tega kalau menyakiti orang lain,” ujar Debbie. 

Selanjutnya, alasan lain mengapa perempuan ikut terlibat aksi terorisme di Syuriah misalnya, karena kombatan ISIS laki-laki sudah berkurang. Mereka ditangkapi oleh pemerintah setempat, belum lagi yang meninggal saat bertempur melawan tentara Syuriah-Irak.  

Kemudian, agar kaum perempuan tidak tejebak eksi terorisme, dibutuhkan peranan lingkungan diantaranya adalah keluarga dan teman sebayanya. Lingkungan yang ada harusb mendorong perempuan untuk meningkatkan critical thinking agar setiap ada doktrin agama dikroscek terlebih dahulu kebenarannya melalui ragam persfektif yang diuraikan oleh ulama-ulama otoritatif. 

“Dan yang juga penting perempuan juga harus diberikan second opinion, saluran alternatif agar fikiranya semakin moderat atau terbuka,” tuturnya. 

Sebagai informasi, dalam catatan Badan Nasional Penaggulangan Terorisme (BNPT) sendiri, faktor yang mempengaruhi banyaknya kaum perempuan yang terlibat aksi terorisme karena mengalami ketidakadilan politik, ekonomi dan sosial, sehingga sangat mudah bagi kelompok radikalisme tersebut untuk merekrut para perempuan. 

Temuan di lapangan, lanjut BNPT, para perempuan mengalami ketidaksetaraan dalam rumah tangga antara suami dan istri. Dan kuatnya ajaran bahwa istri punya tanggung jawab untuk mendengar dan mematuhi apa pun kata suami. 

Perempuan tersebut tidak sadar bahwa ketika sudah mengikuti paham radikalisme, mereka tidak lagi mau menyapa para tetangganya yang tidak memakai jilbab, dan sebagainya. Bagi para perempuan ini, hal itu biasa saja. Mereka bahkan menilai tidakan suaminya melakukan teror tidak salah dah hanya menjalani ajaran agama.

Pewarta: Abdul Rahman Ahdori
Editor: Abdullah Alawi