Nasional NGAJI NGALAH SULUK MALEMAN

Kemanusiaan yang Tergerus

Sen, 24 Juni 2019 | 11:00 WIB

Kemanusiaan yang Tergerus

Anis Sholeh Ba'asyin pada Ngaji NgAllah Suluk Maleman, Sabtu (22/6)

Pati, NU Online
Ngaji NgAllah Suluk Maleman asuhan Anis Sholeh Ba’asyin kembali digelar di Rumah Adab Indonesia mulia Sabtu (22/6) kemarin. Pada edisi yang telah menginjak ke 90 tersebut, sebuah tema menarik pun kembali disuguhkan, yakni Kembali Menjadi Manusia.

Dalam diskusi tersebut, Anis Sholeh Ba’asyin memberikan pandangannya tentang bagaimana kini banyak manusia yang mulai kehilangan fitrahnya sebagai manusia. Rahmat yang dimiliki manusia seringkali tertutupi oleh hijab-hijab yang tercipta dalam perjalanannya mengarungi dunia.

Padahal, demikian menurut Anis, jalan pertama dalam agama justru untuk membimbing agar manusia dapat kembali ke fitrahnya sebagai manusia. Keberadaan manusia dianggap sebagai makhluk yang paling tinggi justru lantaran memiliki kemampuan untuk membaca dirinya sendiri.

"Untuk menemukan fitrahnya sebagai manusia cukup dengan membaca dirinya sendiri. Misalkan di Jawa disebutkan ada ungkapan jika tidak mau dihina maka jangan menghina orang lain. Jika tidak ingin disakiti maka jangan menyakiti orang lain. Nah tataran apakah kita menghina atau menyakiti itu sebenarnya bisa diketahui jika kita bercermin pada diri sendiri atas perlakuan terhadap orang lain tersebut," sentilnya.

Oleh karenanya salah satu sifat Rasul yakni shidiq atau jujur dan benar. Kejujuran dan kebenaran itulah yang menjadi syarat dalam menilai diri sendiri agar dapat menemukan fitrah sebagai manusia.

Sifat shidiq ini akan ditemukan bila manusia mampu bercermin pada dirinya sendiri, sementara situasi derita adalah satu-satunya situasi yang yang tampaknya memang dirancang Tuhan untuk mendorong manusia agar dapat bercermin pada diri. Tanpa derita orang tak akan sempat bercermin pada diri, dan tanpa bercermin pada diri orang mustahil menemukan sifat shidiq.

"Di Jawa juga ada istilah untuk tidak mengisi rapot (menilai) temannya. Karena mencari aib orang lain itu sangat mudah, namun untuk mencari aib sendiri cukup sulit. Hal tersebut dimaksudkan agar kita lebih banyak mengevaluasi diri sendiri dibandingkan menyalahkan orang lain," terangnya.

Bahkan perintah untuk iqra’ atau membaca menjadi salah satu langkah untuk mengajari manusia agar dapat naik lebih tinggi dan tidak terjebak pada satu sudut pandang. Dengan membaca tentunya akan semakin sudut pandang yang dipahami dengan begitu tentunya tidak akan mudah menyalahkan seseorang.

"Hanya saja sekarang ini justru kemanusiaan malah dibatasi pada hal-hal yang tidak terkait dengan kemanusiaan. Begitu pula rahmat juga sering tertutupi oleh hal yang bersifat duniawi seperti halnya perbedaan pilihan pada pilpres. Ini tentu disayangkan. Karena politik itu sangat kecil. Tapi kenapa sekarang ini bisa mengubah sifat manusia yang mulia malah jadi hina," sesalnya.

Keberadaan hoaks atau berita bohong juga dianggap turut merusak akal dan cara berfikir manusia. Padahal menyebar berita bohong dinilai seperti halnya menyebarkan fitnah yang tentu sangat dilarang agama.

"Karena itu Islam menekankan pentingnya mendidik akhlak. Kalau yang jasmani itu diumpamakan hardware dan yang ruhani diibaratkan software, maka operator bagi hardware dan software tersebut itulah yang disebut akhlak. Kalau diibaratkan mobil, sekuat dan semegah apa pun rancangan body-nya, secanggih dan selengkap apapun mesin dan elemen-elemen penggeraknya; tapi kalau pengemudinya ngawur dan ugal-ugalan tentu membahayakan dirinya sendiri dan orang lain. Pengemudi atau sopir atau operator itulah yang dinamakan akhlak," terangnya.

Ratusan penonton yang hadir pun kian bersemangat lantaran turut dimeriahkan oleh Sampak GusUran. Bahkan dengan topik yang begitu menyentil, proses dialog dengan para penonton mampu berjalan dengan begitu hangat. Diskusi itu sendiri baru rampung pada Ahad (23/6) dini hari. (Red: Kendi Setiawan)