Nasional

Kemnaker Sebut Kenaikan UMP 8,51 Persen Sudah Terbaik

Jum, 1 November 2019 | 12:25 WIB

Kemnaker Sebut Kenaikan UMP 8,51 Persen Sudah Terbaik

Demo buruk menuntut kenaikan UMP.

Jakarta, NU Online
Menjelang pengumuman dan penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) serentak oleh para Gubernur pada 1 November 2019, ribuan buruh dari Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Jakarta menggelar aksi di Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), Kamis (31/10).
 
 
Adapun salah satu tuntutannya yaitu, mereka menolak kenaikan UMP berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No.78 Tahun 2015 yang naik 8,51 persen atau menjadi Rp4,2 juta/bulan.
 
Ribuan buruh dari beberapa daerah yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menggelar aksi unjuk rasa di kantor Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker). Para buruh menuntut upah minimum provinsi (UMP) yang naik 8,51 persen atau menjadi Rp4,2 juta.
 
Sekretaris Jenderal DPP Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Riden Hatam Aziz mengatakan, pihak dewan pengupahan nasional sudah memiliki hitungan sendiri, yang mana kenaikan itu seharusnya berada di angka rata-rata 15 persen atau mencapai Rp4.532.117 per bulan.
 
"Kalau ditanya berapa kisarannya, presentase yang kami minta adalah di 15 persen kenaikan UMP 2020 ini," tutur Aziz, Kamis (31/10/2019).
 
Dia mengatakan, angka tersebut didapat dari hitungan sesuai UUD No.13 Tahun 2003 yang berdasarkan 78 item kebutuhan hidup layak (KHL).
 
"Informasi dan laporan yang sudah kami terima, kebutuhan hidup layak itu dulu hanya 60 item. Sekarang sudah menjadi 78 item. Gunakan sekarang parameternya tidak lagi yang 60 item. Tapi setidaknya yang 78 item itu," jelas Aziz.
 
Aziz meminta, acuan KHL kembali digunakan untuk menghitung UMP. Tidak seperti sekarang yang hanya menggunakan inflasi pertumbuhan ekonomi dan produk domestik bruto (PDB) seperti tertuang dalam PP No. 78 Tahun 2015.
Bila hanya menggunakan angka inflasi dan pertumbuhan ekonomi saja menurutnya kenaikan UMP belum mampu mengimbangi kenaikan biaya hidup.
 
"Ini sangat ironis dalam situasi kami para pekerja, kenaikan upahnya dibatasi dengan PP 78 yang hanya parameternya inflasi saja dan PDB, ini tidak seimbang," katanya.
 
 
Editor: Kendi Setiawanmen