Nasional HAUL GUS DUR

Kenapa Saya Gembira Ketika Gus Dur Presiden?

Jum, 20 Desember 2013 | 12:00 WIB

Sungguh sulit sebenarnya untuk mengungkapkan awal perkenalan secara fisik dengan ulama tersebut, karena peristiwa fisik sungguh belum pernah saya rasakan seutuhnya. Saya hanya bisa mengenal banyak dengan sosok yang nyentrik itu lewat tulisan-tulisannya.
<>
Selain itu mengenal dia dari beberapa kebijakannya yang terbilang “mem-pri-ha-tin-kan” bagi kebanyakan orang di masa pemerintahannya dulu. Namun nyatanya, itu bukanlah awal perkenalan dengan nama tersebut.

Sebagai anak kelahiran Jakarta, saya terbilang jarang mengikuti berbagai informasi mengenai pergerakan ulama di negeri ini. Selain itu dengan status pelajar SD, saya belum tertarik mengenai hal tersebut.

Namun saya memiliki sebuah pengalaman penting pada medio tahun 1999, dilaksanakanlah Pemilu usai terjadinya Reformasi. Kata yang akhirnya baru kumengerti saat menjadi mahasiswa kelak. Namun jujur, saat itu saya tak sama sekali tertarik dengan kalimat tadi dan akan memilih bermain bola sepak di lapangan dekat rumah yang masih tersedia.

Suatu keramaian terjadi di rumah. Saat itu seluruh penghuninya berkumpul bersama untuk menyaksikan televisi yang hanya terdiri dari beberapa chanel. Saya turut dipanggil untuk melaksanakan doa bersama di sela-sela tayangan itu. “Apa yang terjadi sih, sampai harus nonton sambil berdoa.” Begitulah kira-kira yang saya pikirkan.

Di televisi sendiri, hanya ada dua buah gambar yang masing-masing terisi dua orang manusia yang sumpah mati belum pernah saya lihat sebelumnya. Seorang lelaki berpeci dengan background gambar berwarna hijau dan seorang wanita bersanggul dengan latarnya berwarna merah dan sedikit tambahan gambar banteng dibelakangnya.

Saya memberanikan diri bertanya pada kakek yang terlihat paling khusuk menyaksikannya.

Dengan penuh pengharapan, kakekku menjelaskan bahwa, orang yang memakai peci adalah seorang ulama bernama Abdurrahman Wahid yang terkenal dengan sebutan Gus Dur. Dia merupakan perwakilan umat Islam untuk memimpin Indonesia ke depan. Kira-kira begitulah kalimat yang masih sedikit tersisa dalam ingatanku.

“Lalu yang perempuan siapa?”

“Kalo yang itu namanya Megawati. Kalo sampai dia yang jadi presiden, bahaya negara ini soalnya berlawanan sama kodrat. Kan laki-laki kedudukannya harus memimpin perempuan.”

“Benar juga, itu sesuai yang diajarkan guru agama Islam di sekolah,” pikir saya. Yang menjadi menarik kala itu, adalah kedudukan si wanita lebih banyak dibandingkan hasil perolehan lelaki berpeci. Terdorong oleh motivasi yang irasional, seketika itu saya ke kamar dan mengambil sarung lantas mengambil wudhu dan berdoa.

Saat penghitungan selesai, saya melihat orang berpeci itu yang menjadi pemenangnya. Saya melonjak dengan gembira, bak seorang penyerang yang menjaringkan bola ke gawang lawan. Tapi hal yang tak pernah saya mengerti sampai sekarang, mengapa saya bisa segembira itu, sedangkan kedua orang tadi bukanlah orang yang saya kenal dekat.

Kejadian itu masih terngiang di kepala saya hingga kini. Bahkan ketika dulu menempuh pengajaran sejarah dalam lembaga Megawati Institute. Di sana, saya selalu teringat keriangan masa kecil dengan Gus Dur, sekalipun tanpa alasan jelas.

Anda marah? Namanya juga anak kecil. Tapi jika Anda tak pernah mengalaminya, mungkin ada tiga sebab yang menjadi alasannya; pertama keluarga anda pendukung loyal Megawati. Kedua, keluarga Anda apatis terhadap politik. Yang terakhir, masa kecil Anda suram karena tak memiliki televisi. (Aditya Nugraha)

Dalam rangka peringatan Haul KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), NU Online akan memuat tulisan anak-anak muda tentangnya. Setiap hari akan dimuat satu tulisan. Jika ingin turut berpartisipasi, sila kirim tulisan Anda ke [email protected].