Nasional MODERASI BERAGAMA

Kerukunan Jamaah Masjid Nurbaitillah dan Jemaat Gereja Jeruju di Pontianak

Sel, 16 November 2021 | 09:15 WIB

Kerukunan Jamaah Masjid Nurbaitillah dan Jemaat Gereja Jeruju di Pontianak

Masjid Nurbaitillah dan Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Jeruju di Kota Pontianak. (Foto: NU Online/Siti Maulida)

Keberadaan rumah ibadah di suatu daerah menjadi hal vital. Sebab menjadi tempat bernaung bagi umat beragama untuk mendekatkan diri pada Tuhan. Agama menjadi ranah privat bagi seseorang dan tentu orang lain tidak boleh mengusik kepercayaan yang lainnya. Setiap umat dapat beribadah di mana saja sesuai dengan ketentuan masing-masing, karena setiap wilayah pasti memiliki fasilitas tempat ibadah. 


Biasanya tempat ibadah antaragama dibangun berjauhan atau berjarak dan diletakkan di wilayah mayoritas, menyesuaikan penganut agama. Hal ini demi mencegah konflik kecil yang kemungkinan akan terjadi antar umat beragama. Namun hal itu dibantah oleh keberadaan Masjid dan Gereja yang ada di Pontianak, posisi keduanya justru persis berdampingan.


Masjid dan gereja tersebut terletak di Jalan Padat Karya, Kelurahan Sungai Beliung Kota Pontianak. Yaitu Masjid Nurbaitillah dan Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Jeruju. Saat NU Online mengunjungi tempat tersebut pada Sabtu Sore (13/11), terlihat kedua bangunan berdiri gagah di antara pemukiman warga yang lumayan padat, lokasinya jauh dari jalan utama. Masjid tersebut berwarna hijau sedangkan Gereja Huria Kristen Batak berwarna putih.


Sejarah Singkat Pendirian

Berdasarkan Informasi yang dihimpun oleh NU Online, dan dikonfirmasi oleh Pendeta Gereja Huria Kristen Batak (HKBP) yaitu Pendeta Bonar pada Sabtu Sore (13/11). Yang lebih dahulu berdiri menurut pemaparannya adalah Gereja, yaitu pada tahun 1983, sedangkan dulunya pada tahun 1996 Masjid Nurbaitillah adalah sebuah surau. Dan sebagian tanah di atas surau tersebut adalah milik jemaat gereja.


 

Gereja Huria Kristen Batak berdampingan dengan Masjid Nurbaitillah. (Foto: NU Online/Siti Maulida)

 

Karena semakin banyak masyarakat yang bermukim dan semakin banyak umatnya, maka masyarakat berinisiasi mengembangkan surau menjadi masjid. Melalui musyawarah bersama. Jemaat gereja yang memiliki tanah di bagian surau bersedia melepaskan tanahnya agar pembangunan masjid berjalan. Sehingga pada tahun 1997 Masjid Nurbaitillah dibangun.


“Jadi, yang berdiri lebih dulu itu gereja ini, masjid Nurbaitillah dulu masih berupa surau, kemudian lambat laun, berdiri menjadi masjid kokoh,” ungkap Pendeta Bonar yang rumahnya juga berada di sekitar masjid dan gereja.


Menurut penjelasannya, jemaat gereja tidak keberatan ketika Masjid dibangun bersebelahan. Justru mereka mendukung dan menghargai niat baik umat Islam untuk mendirikan rumah ibadah di kala itu.


Tidak Pernah Terjadi Gesekan

Untuk mengetahui lebih mandalam. NU Online sebelumnya sudah menghubungi Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Pontianak yaitu KH Abdul Syukur, melalui Aplikasi Whatsapp pada Kamis, (12/11). Ia mengkonfirmasi keberadaan kedua bangunan tempat ibadah tersebut, dan lokasinya sudah pernah dipantau oleh Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB).


“Ya betul, di Jalan Padat Karya Kelurahan Sungai Beliung Pontianak memang ada Masjid dan Gereja yang berdampingan, dan selama ini aman,” ungkap KH Abdul Syukur.

 

Jurnalis NU Online, Siti Maulid bersama Pendeta Gereja Huria Kristen Batak (HKBP) yaitu Pendeta Bonar. (Foto: NU Online/Siti Maulida)

 

Ia mengatakan bahwa selama ini tidak ada gesekan sekecil apapun antar umat. Justru dari awal sudah ada kesepakatan bersama antarumat agar tetap rukun dan saling gotong royong, jika saling membutuhkan satu sama lain.


Hal senada juga disampaikan oleh warga yang tinggal sekitar. Rumahnya persis di depan masjid dan gereja, yaitu Ibu Nur (65). Ia mengungkapkan dari dulu tidak pernah ada konflik atau perbedaan pendapat antarumat. menurutnya justru dengan adanya masjid dan gereja yang berdampingan, membuat wilayah pemukimannya lebih berwarna.


“Saya tinggal di sini sudah lama, sebelum kedua tempat ibadah tersebut dibangun, kondisi keseharian masyarakat sama seperti yang dulu dan tidak ada konflik sama sekali. Justru malah jadi lebih berwarna, dan memudahkan tetangga saya yang non-Muslim untuk beribadah lebih dekat,” papar Ibu Nur, yang sudah lama berjualan di depan Masjid dan Gereja.


Lain halnya, Pendeta Bonar mengungkapkan, lingkungan gereja dulu gerbangnya dibuka selama 24 jam, akan tetapi disalahgunakan oleh beberapa oknum untuk melakukan tindakan yang bertentangan. Seperti tempat persembunyian remaja yang ngelem (kecanduan lim), dan dijadikan tempat berdua-duan oleh pasangan yang belum sah. Sehingga pihak gereja akhirnya bertindak tegas dengan menutup gerbang dan melakukan pengawasan. Namun bagi siapapun yang ingin berkegiatan positif dilingkungan gereja tetap dipersilakan.


“Gesekan itu dulu dilakukan oleh orang luar bukan orang sekitar, tapi sampai sekarang sudah aman, dan tidak ada yang menyalahgunakan kedua bangunan suci ini,” ungkap Pendeta Bonar.


Gotong Royong dan Saling Berbagi

Setiap umat memiliki hari perayaan atau hari penting masing-masing, terkadang di suatu tempat peribadatan ramai dikunjungi jamaah, baik di gereja maupun di masjid. Apalagi jika lingkungannya padat pemukiman, maka akan kesulitan untuk menata parkiran. Namun masjid dan gereja yang ada di Jalan Padat Karya tersebut tidak merasa kesulitan, dikarenakan masing masing jamaah saling gotong royong.


Pendeta Bonar sangat berterimakasih kepada masyarakat Muslim di sekitar Jalan Padat Karya, karena di saat perayaan Natal atau hari-hari besar, mereka selalu membantu jemaat gereja untuk parkir kendaraan, agar rapi dan keamanannya terjaga.


“Kalau udah hari Natal pasti gereja penuh, nah saya sangat salut kepada penduduk Muslim sekitar, mereka bersedia membantu kami dalam menjaga dan menata parkiran,” ungkapnya.


 

 

Oleh sebab itu untuk menjaga persaudaraan antar bangsa, Gereja Huria Kristen Batak Protestan Jeruju juga melakukan aksi sosial berupa berbagi voucher belanjaan untuk masyarakat sekitar.


“Kami juga melakukan kegiatan sosial berupa bazar dan pembagian voucher untuk masyarakat. Bahkan ketika hari raya idul fitri kami juga berbagi lahan parkir untuk masyarakat muslim yang ingin beribadah di Masjid Nurbaitillah,” ungkapnya.


Alasan pihak gereja berbagi dengan voucher belanja, tidak dengan makanan langsung adalah agar masyarakat Muslim tidak merasa khawatir.


“Sebenarnya kami bisa memberikan makanan langsung, tapi kami menghargai masyarakat muslim, karena kami tahu ada beberapa jenis bahan makanan atau daging yang tidak boleh dikonsumsi oleh masyarakat muslim, jadi agar lebih aman dan terhindar dari prasangka, kami bagikan voucher belanja saja,” paparnya.


Pendeta Bonar mengatakan setiap agama pasti mengajarkan nilai-nilai kebaikan, termasuk gotong royong dan berbagi. Ia mempercayai umat muslim untuk bisa memegang nilai nilai agama yang diajarkan.


Mengecilkan Suara Speaker Masjid

Seperti yang dipaparkan oleh Ibu Nur, bahwa pengurus Masjid Nurbaitillah yang diketuai oleh Kiai Sofian bersepakat untuk mengecilkan speaker setiap hari Jumat. Hal ini karena di gereja setiap hari Jumat juga terdapat ritual kegamaan umat Kristen. Sehingga pihak Masjid Nurbaitillah menghargai peribadatan yang dilaksanakan di gereja.


“Iya, Kiai Sofian selaku pengurus masjid pernah menjelaskan hal itu kepada masyarakat, beliau saat ini lagi keluar jadi belum bisa ditemui,” tandasnya.


Setiap Jumat menjadi hari penting bagi umat Islam dan umat Kristen. Di hari itu umat Islam melakukan ritual Ibadah Hari Jumat, sedangkan umat Kristiani juga melaksanakan Ibadah Jumat Agung. Sehingga kedua pihak perlu menghargai satu sama lain. 


Pendeta Bonar mengungkapkan, umat Kristiani juga mengecilkan suara ketika melakukan ibadah Jumat Agung, agar tidak menganggu umat Muslim yang sedang beribadah di Masjid Nurbaitillah.


“Jadi ketika umat muslim berkhutbah atau azan mereka mengecilkan mikrofon, kami juga di dalam gereja mengecilkan suara, toleransi ini sangat berarti untuk menjaga kondusifitas dalam beribadah,” ungkapnya.


Penulis: Siti Maulida

Editor: Fathoni Ahmad

 

Konten ini hasil kerja sama NU Online dengan Biro Humas, Data, dan Informasi Kementerian Agama RI