Nasional

Kesakralan NU dari Kacamata Spiritual dan Intelektual menurut Kiai Afifuddin Muhajir

Sel, 21 Maret 2023 | 14:55 WIB

Kesakralan NU dari Kacamata Spiritual dan Intelektual menurut Kiai Afifuddin Muhajir

Wakil Rais Aam PBNU, KH Afifuddin Muhajir (Foto: dok NU Online)

Jakarta, NU Online
Wakil Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Afifuddin Muhajir mengatakan NU sebagai organisasi terbesar di dunia memiliki nilai kesakralan luar biasa karena kemurnian para pendirinya. 


"NU merupakan organisasi sakral karena didirikan oleh manusia-manusia sakral," kata Kiai Afif dikutip NU Online dalam tayangan video di kanal Youtube Petiga TV, Selasa (21/3/2023). 


Kemurnian yang ia maksud lahir dari niat tulus para auliya, yang secara harfiah dijabarkan sebagai orang-orang dengan tingkat spiritualitas tinggi. Dan, didorong oleh kompetensi kuat dari ulama, sebagai individu yang memiliki intelektualitas yang mumpuni. 


"Akan tetapi, seringkali kita temukan (di-NU), yang auliya juga ulama, yang ulama juga auliya," terang  Wakil Pengasuh Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Situbondo, Jawa Timur, ini.


Secara detil, ia menjelaskan kedua makna: auliya dan ulama. Auliya lebih familiar dikenal sebagai al arif billah (orang-orang yang kenal Allah), secara langsung. Sementara, ulama mengenal Allah swt dengan menggunakan media. 


"Yang dimaksud media adalah alam semesta. Orang-orang wali percaya kepada Allah tanpa dalil karena sudah melihat," jelasnya. 


Ia kemudian menceritakan sebuah kisah pertemuan seorang filsuf dengan sufi yang alim. Setelah keduanya berpisah, filsuf itu berkata bahwa seorang sufi yang alim mampu melihat apa yang individu lain ketahui. Sementara, sufi menyebut seorang filsuf bisa mengetahui apa yang kita lihat. 


"Perbedaannya, orang yang melihat pasti tahu sementara orang yang tahu belum tentu melihat," ucap Kiai Afif. 


Soal kesakralan NU, ia menyebut bahwa para pendiri NU adalah mereka yang mengasuh pondok pesantren. Meski terkenal dengan kealimannya, namun para pendiri NU tidak lantas mendirikan NU tanpa restu dari konsultan spiritualnya, yakni Syaikhona Kholil Bangkalan. 

 

Selanjutnya, KH Raden As’ad Syamsul Arifin, pendiri pesantren paling berpengaruh di Situbondo, Salafiyah Syafi'iyah menjadi mediator, yang dipercaya menyerahkan sebuah tongkat dan tasbih, memantapkan hati KH Hasyim Asy'ari untuk membentuk Jam'iyah (perkumpulan) Ulama, yang pernah diusulkan muridnya KH Wahab Hasbullah. 

 

Peristiwa itu terjadi setelah dua tahun lamanya, pendiri Pesantren Tebuireng di Jombang itu, mencari 'isyarat langit' yang tak kunjung datang lewat salat istikharah. Rupanya isyarat itu datang lewat tongkat dan tasbih yang dikirim gurunya Syaikhona Kholil.


"Ini merupakan cikal bakal kembalinya NU pada khittah yang diputuskan kala Muktamar ke-27 NU di Situbondo," ungkapnya. 


Kiai Afif lebih lanjut mengatakan bahwa kesakralan NU tidak semata-mata bertumpu pada kemampuan finansial dan kecerdasan intelektual, akan tetapi didukung oleh kecerdasan spiritual. 

 

"Inilah kunci dari kesakralan NU," Kiai Afif menandaskan. 


Pewarta: Syifa Arrahmah
Editor: Kendi Setiawan