Nasional

KH Hasan Abdul Wafie, Sang Penggubah Syair Shalawat Nadhliyah

Sel, 12 Maret 2019 | 11:30 WIB

Jember, NU Online
Lagu shalawat Nadhliyah saat ini booming. Di berbagai acara NU, Badan Otonom dan sejenisnya, shalawat Nahdliyah yang dilantunkan oleh Veve Zulfikar tersebut seolah menjadi lagu wajib dalam pembukaan dan penutupan acara. Lagu shalawat berdurasi 04,32 detik itupun melejit di blantika musik islami tanah air.

Tapi tahukah anda, siapa pencipta shalawat Nahdliyah tersebut? Beliau adalah KH Hasan Abdul Wafie. Beliau mungkin tidak pernah menyangka bahwa shalawat yang diciptakannya sekian puluh tahun yang silam itu akan populer sebegitu rupa.

Aba menciptakan shalawat itu ketika saya masih anak-anak, masih (sekolah) SD,” kenang salah seorang puterinya, Nyai Hj. Ja’faroh Wafie,  kepada NU Online di Jember, Selasa (12/3).

Menurut anggota Komisi E DPRD Jember itu, shalawat Nahdliyah tersebut sebagai bentuk rasa cinta sang ayah kepada NU. Awalnya shalawat itu menjadi ‘wiridan’  keluarga besar KH Hasan Abdul Wafie. Lalu diperkenalkan kepada MWCNU setempat, dan berlanjut hingga ke  PCNU Kraksaan, Probolinggo.

“Saat itu aba menjadi pengurus PCNU Kraksaan. Setelah itu saya tidak  tahu, mungkin ‘dibawa’ ke PWNU Jawa Timur,” lanjutnya.

Di Jember sendiri, shalawat tersebut cukup populer, jauh sebelum  Veve Zulfikar melantunkannya. Adalah KH Muhyiddin Abdusshomad, sosok yang selalu memperkenalkan shalawat Nahdliyah  dalam setiap acara NU. “Beliau juga yang memberi tahu saya bahwa shalawat itu akan direkam (dinyanyikan),” jelas Nyai Hj. Ja’faroh.

KH Hasan Abdul Wafie merupakan salah satu ulama kharismatik yang cukup alim. Ia lahir di Desa Sumberayar, Kecamatan Tlanakan, Pamekasan, Madura (1923). Sejak kecil ia mendapat bimbingan agama dari ayahnya, KH Miftahul Arifin. Ketika berusia 6 tahun Abdul Wafie kehilangan ibunya, disusul ayahnya lima tahun kemudian. Jadilah ia yatim piatu.

Kendati demikian, Abdul Wafi muda tak pernah patah semangat. Ia justru semakin tertantang untuk menekuni limu agama di berbagai pesantren, hingga benar-benar alim. Beberapa diantaranya adalah Pesantren Darul Ulum, Banyuanyar, Pamekasan, Pesantren Paterongan, Jombang yang diasuh KH Mustain Ramli, Pesantren Krapyak, Yogyakarta yang disauh KH  Munawir, bahkan pernah nyantri di Mekah. Dan terakhir mondok di Pesantren  Nurul Jadid yang diasuh KH Zaini Mun’im. Di situlah ia akhirnya ia mendapatkan jodoh yang tak lain puteri kiainya. Namanya Aisyah Zaini. Saat itu, Abdul Wafie berumur 35 tahun.

Sejak menikah, kealiman KH Hasan Abdul Wafie semakin tampak. Beliau dikenal sangat dekat dengan Gus Dur. Di mata Gus Dur, beliau merupakan salah satu dari 4 ulama kharismatik Jawa Timur yang tidak kuasa ditolak perintahnya. Keempat ulama itu adalah KH Imam Zarkasyi, Banyuwangi (wafat 2001), KH Ahmad Sofyan Miftahul Arifin, Situbondo (wafat 2012), KH Khotib Umar, Sumberwringin, Jember (wafat 2014) dan KH Hasan Abdul Wafie (wafat 2000).

Kecintaan KH Hasan Abdul Wafie kepada NU memang luar biasa. Kepada santrinya, beliau sering menganjurkan untuk tak bosan-bosannya berjuang demi NU, dan jangan sekali-kali menyimpang dari NU.

Salah satu bentuk kecintaannya itu dituangkan dalam sebuah syair Arab yang diberi nama shalawat nahdliyah. Shalawat itu intiya doa kepada Allah agar warga NU tetap bersemangat dan berjuang menghidupkan dan meninggikan agama Islam serta menampakkan syi’arnya menurut cara Jam’iyyah Nahdlatul  Ulama. Doa agar Allah memberikan kemenangan bagi Jam’iyyah Nahdlatul Ulama untuk meninggikan kalimatillah (agama Islam dan seluruh ajarannya).

“Semoga aba mendapat pahalanya, dan NU semakin jaya dan kuat,” harap Nyai Hj. Ja’faroh, puteri keempat KH Hasan Abdul Wafie dari 12 bersaudara. (Aryudi AR)