Nasional

KH Miftachul Akhyar Jelaskan Jati Diri Nahdlatul Ulama

Rab, 27 Oktober 2021 | 02:01 WIB

KH Miftachul Akhyar Jelaskan Jati Diri Nahdlatul Ulama

Rais 'Aam PBNU, KH Miftachul Akhyar. (Foto: NU Online/Suwitno)

Jakarta, NU Online

Rais ‘Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Miftachul Akhyar menjelaksan bahwa jati diri Nahdlatul Ulama (NU) adalah saat para pendahulu NU membentuk Komite Hijaz (kepanitiaan kecil yang dikomandoi KH Abdul Wahab Chasbullah) sebagai respons atas antipluralitas mazhab di kota Makkah oleh Raja Ibnu Sa’ud.


“Grand idea adalah jati diri NU saat dulu berdirinya organisasi ini bukan sebatas untuk menghadapi penjajah, tapi juga sebagai respons terhadap konferensi internasional di Timur Tengah yang akan menjadikan Wahabi sebagai mazhab tunggal di kota Makkah,” terang Kiai Miftach dalam tayangan video di YouTube NU Online, pada Selasa (26/10/2021).


Kiai Miftach menjelaskan, untuk mengirim delegasi ini (Komite Hijaz) dibutuhkan organisasi formal. Maka didirikanlah Nahdlatul Ulama pada 16 Rajab 1344 H bertepatan pada 31 Januari 1926 dan mengirimkan utusan secara formal ke Makkah untuk menemui Raja Saud untuk menyampaikan aspirasinya sebagai Islam berhaluan Ahlusunnah wal Jamaah.


“Ini perjuangan. Saat Wahabi belum masuk (ke Indonesia), mau merencanakan perubahan besar. Sekarang, saat Wahabi sudah ada di negara kita, sudah menjadi tetangga kita, jangan sampai kita lupa jati diri itu,” beber ulama kelahiran Surabaya, Jawa Timur itu.


Misi Komite Hijaz berhasil. Empat mazhab tetap lestari di kota Makkah dan situs-situs bersejarah berhasil diselamatkan, termasuk makam Nabi Muhammad saw. 


NU organisasi khidmah

Pada kesempatan itu, Kiai Miftach juga menjelaskan bahwa NU merupakan oraganisasi Islam yang memiliki tujuan utama, yaitu berkhidmah (mengabdi) untuk umat. “NU itu organisasi ulama yang berkhidmat. Jangan samakan dengan organisasi lain. Apalagi organisasi politik,” katanya.


Dijelaskan Kiai Miftach, NU merupakan oranisasi yang menjaga kebenaran (asḫâbul haq) dan menjaga ketetapan (asḫâbul qarar). Maksud ‘menjaga ketetapan’ dalam hal ini bukan berarti NU terlibat dalam politik praktis, kata qarar di sini hanya pengalihbahasaan dari kata ‘ketetapan’ ke bahasa Arab, mengingat di NU banyak memiliki ketetapan-ketetapan (qarârât).


“Jangan salah paham, ketetapan-ketetapan Bahtsul Masail, Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART), dan lain-lalin, itu merupakan qarârât (ketetapan-ketetapan),” terang Pengasuh Pondok Pesantren Miftsachus Sunnah, Surabaya itu.


Dalam pandangan Kiai Miftach, NU sebagai organisasi yang menjaga kebenaran (asḫâbul haq) saja belum cukup, tetapi juga harus menjaga ketetapan (asḫâbul qarar) sebagai kekuatan organisasi.


“Kalau asḫâbul haq tidak punya asḫâbul qarar, berarti puya kebenaran saja tanpa punya kekuatan,” pungkas Kiai Miftach.


Kontributor: Muhamad Abror

Editor: Fathoni Ahmad