Nasional

Kiai Cholil Jelaskan Makna Hijrah

Rab, 14 Maret 2018 | 13:37 WIB

Jakarta, NU Online
Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Cholil Nafis menyebutkan, hijrah terbagi menjadi dua. Pertama, hijrah makaniyah (tempat atau jasad). Contohnya sebagaimana hijrah yang dilakukan Nabi Muhammad saw ketika pindah dari Mekkah ke Madinah. Hijrah jenis pertama ini sudah tidak disyariatkan lagi setelah setelah Nabi Muhammad berhasil menaklukkan Mekkah (Fathu Makkah).  

“Dalam termonologi Islam, hijrah itu semangat memperjuangkan agama sehingga harus pindah dari suatu negeri ke yang lain,” kata Kiai Cholil kepada NU Online di Jakarta, Rabu (14/3). 

Kedua, hijrah haliyah (perilaku). Berbeda dengan hijrah tempat, Kiai Cholil mengatakan hijrah perilaku masih terus berlaku hingga hari kiamat datang.    

“Contoh hijrah perlikau adalah hijrah dari kufur kepada iman, dari maksiat menuju taat,” terangnya. 

Saat ini, kata hijrah diidentikkan dengan perubahan pakaian. Misalnya bagi seorang perempuan, mereka dianggap berhijrah manakala mereka mengenakan hijab atau cadar dari yang sebelumnya tidak memakainya. 

Menanggapi hal itu, Pengasuh Pesantren Cendekia Amanah Depok ini menerangkan, hijrah bukan hanya persoalan penampilan luar saja. Ketika seseorang memutuskan untuk berhijrah maka yang perlu diperhatikan pertama kali adalah niat, bukan tampilan luar. 

“Namun yang lebih penting mengawali hijrah itu meluruskan niat. Untuk apa kita hijrah atau berjilbab bahkan sampai bercadar?” ujarnya. 

Alumni Universitas Malaya ini mengatakan, orang yang berhijrah harus memiliki niat yang lurus, yaitu bertaubat dan ingin menjadi orang yang bertakwa. Ciri orang yang betul-betul berhijrah adalah selalu berupaya menebar kebaikan dan selalu berupaya adil menyikapi masalah. Selain itu, orang yang berhijrah mesti menghindarkan dirinya dari kesombongan dan perasaan paling suci.  

“Jangan sampai pakaian hijrah itu menjadi kesombongan identitas diri yang suci,” tutup dia. (Muchlishon)