Nasional

Kiai Marzuki Mustamar Ungkap Filosofi Larangan Pesta di Bulan Asyura

Sel, 12 Juli 2022 | 10:30 WIB

Kiai Marzuki Mustamar Ungkap Filosofi Larangan Pesta di Bulan Asyura

Ketua PWNU Jawa Timur, KH Marzuki Mustamar. (Foto: Tangkapan layar YouTube NU Channel)

Jakarta, NU Online
Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur, KH Marzuki Mustamar, mengungkap filosofi tradisi pelarangan menggelar pesta pada bulan Asyura. Larangan itu dalam rangka menghormati keluarga Rasulullah saw yang berduka.


Hal ini disampaikan Kiai Marzuki dalam tayangan YouTube NU Channel berjudul Adat dan Larangan di Bulan Asyura pada Senin (11/7/2022).


“Dilarangnya menggelar pesta atau acara besar pada bulan Asyura adalah bagian dari adab kita terhadap habaib. Pada bulan itu, ahlul bait termasuk para habaib sedang berduka,” terangnya.


Kiai Marzuki menjelaskan, Asyura adalah bulan prihatin bagi anak cucu Rasulullah saw. Hal ini dikarenakan cucu Nabi Muhammad saw yaitu Husain bin Ali bin Abi Thalib mengalami pembulian hingga terbunuh. Bahkan, dipenggal lehernya secara biadab di Padang Karbala.


“Tentu para anak dan cucu-cucu Rasulullah saw termasuk para habaib jika teringat Husain dibunuh pada bulan itu akan menganggap Asyura sebagai bulan duka,” tuturnya.


Menurut Pengasuh Pesantren Sabiilul Rosyad, Gasek, Malang, Jawa Timur itu tidak pantas ketika seseorang mengaku cinta nabi tetapi pada bulan Asyura tetap mengadakan acara. “Di mana hatimu, ayo dijaga adabnya,” kata Kiai Marzuki.


Ia menegaskan, betapa kiai Jawa ingin menghormati dan menjaga hati ahlul bait dan habaib sampai-sampai membuat aturan untuk tidak mengadakan pesta atau acara besar di bulan Asyura, karena tidak pantas umat bersenang-senang saat mereka mengingat tewasnya Husain.


Pada kesempatan yang sama, Kiai Marzuki juga mengungkapkan alasan kiai Jawa juga melarang untuk mengadakan pesta atau acara besar pada hari meninggalnya kakek atau nenek. Hal ini, kata dia, tidaklah musyrik atau bid’ah.


“Semisal di hari meninggalnya kakek pasti nenek yang masih hidup akan teringat. Maka alangkah baiknya pada hari wafat sang kakek mestinya anak-anak, menantu, dan cucu dapat berkumpul untuk membaca yasin, tahlil, dan mengirim doa” ujarnya.


“Ini dapat menyenangkan nenek dan juga membahagiakan kakek yang ada di alam kubur,” sambung kiai kelahiran Blitar, 22 September 1966, ini.


Kiai Marzuki menilai sangat tidak pantas jika hari meninggalnya kakek yang membuat nenek sedih ternyata anak cucunya justru mengadakan pesta dan acara besar.


“Supaya kita tidak menyakiti hati nenek, maka kiai Jawa membuat aturan untuk tidak mengadakan pesta atau acara besar pada waktu hari meninggalnya kakek. Itulah ajaran kiai-kiai Ahlussunnah Wal Jamaah,” pungkasnya.


Kontributor: Afina Izzati
Editor: Musthofa Asrori