Nasional HALAQAH FIQIH PERADABAN

Kiai Moqsith Paparkan Kontekstualisasi Fiqih Siyasah di Masa Sekarang

Kam, 20 Oktober 2022 | 09:00 WIB

Kiai Moqsith Paparkan Kontekstualisasi Fiqih Siyasah di Masa Sekarang

Katib Syuriyah PBNU, KH Moqsith Ghazali (tengah) saat mengisi Halaqah Fiqh Peradaban yang bertajuk Fiqh Siyasah dan Tatanan Dunia Baru di Pesantren Al-Falak Pagentongan, Kota Bogor, Jawa Barat, Senin (17/10/2022) siang. (Foto: NU Online/istimewa)

Bogor, NU Online

Katib Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Moqsith Ghazali mengatakan, tidak ada dalil ayat maupun hadits yang memerintahkan untuk mendirikan negara bangsa. Di sisi lain, tidak ada juga dalil yang melarang mendirikan negara bangsa. 


"Jadi, di bidang muamalah, tidak adanya dalil adalah dalil dibolehkan, sehingga hukum mendirikan negara bangsa adalah boleh," kata Kiai Moqsith saat mengisi Halaqah Fiqh Peradaban yang bertajuk Fiqh Siyasah dan Tatanan Dunia Baru di Pesantren Al-Falak Pagentongan, Kota Bogor, Jawa Barat, Senin (17/10/2022) siang.


Selain negara bangsa, menurut Kiai Moqsith, dalil yang memerintah untuk mengangkat kepala negara juga tidak ada. Lantas, ia pun melempar pertanyaan kepada ratusan peserta yang hadir di halaqah tersebut, "Bisakah kita menaati kepala negara tanpa ada negaranya?"


"Isyaratun nash (petunjuk lafal, red) dalam ayat Ati'ullah wa Ati'urrasul wa Ulil Amri minkum menunjukkan bahwa negara harus ada agar bisa menaati kepala negara. Termasuk juga sistem Trias Politika yang tidak ada dalil yang memerintah dan melarang, maka berarti boleh," tambah Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini.


Kiai Moqsith menjelaskan, dalam kontekstualisasi dalil-dalil bidang siyasah Islam membutuhkan alat bantu ilmu-ilmu lain, seperti ilmu politik, antropologi, dan lain-lain. Oleh sebab itu, kalau ada diktum-diktum di dalam fiqih siyasah yang kurang sesuai atau berlawanan dalam konteks negara bangsa kita, maka harus dibuang. 


"Istilah kafir dzimmi sudah tidak bisa diterapkan sekarang, karena lahir dari peradaban lama. Karena, kafir dzimmi hanya ada dalam konsep negara khilafah. Jadi, istilah kafir dzimmi sudah tidak bisa sebutkan kepada kalangan non-Muslim di Indonesia," jelasnya.


"Dalam konsep negara bangsa, tidak boleh menyebut agama lain sebagai kafir dan harus menerima Undang-Undang. NKRI harga mati, tapi isinya tidak harga mati. Mengelola NKRI itu dinamis dan tidak harga mati. Semua kebijakan disesuaikan dengan dasar keadilan," tambah Kiai Moqsith.


Ulama ahli ushul fiqh ini menilai, NU selama ini dinamis dalam memahami dinamika negara. Misalnya, NU pada Musyawarah Nasional (Munas) tahun 1983 menerima Pancasila sebagai dasar negara. Kemudian, Munas NU tahun 2019 memahami Pancasila sudah syar’i sehingga kedudukan Muslim dan non-Muslim adalah setara dalam konteks negara bangsa.


"Dalam konteks berbangsa dan bernegara, Munas NU bersepakat tidak boleh melabeli kafir kepada seseorang yang bukan beragama Islam," tutur Kiai Moqsith.


Kontributor: M. Zidni Nafi’
Editor: Kendi Setiawan