Nasional

Kiai Mukti Ali Sebutkan Ciri Masyarakat Berperadaban menurut Ibnu Khaldun 

Kam, 8 September 2022 | 17:30 WIB

Kiai Mukti Ali Sebutkan Ciri Masyarakat Berperadaban menurut Ibnu Khaldun 

Ibnu Khaldun mempelajari sejumlah karakter masyarakat. ia kemudian menarik simpulan terkait faktor-faktor kemajuan peradaban sebuah masyarakat

Jakarta, NU Online

Ketua Lembaga Bahtsul Masail (LBM) Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) DKI Jakarta KH Mukti Ali Qusyairi membacakan sebuah kitab karya Ibnu Khaldun, dalam Halaqah Fiqih Peradaban ke-3 yang digelar PBNU, di Pesantren Asshiddiqiyah Jakarta, pada Rabu (7/9/2022) malam. 


Judul kitab Ibnu Khaldun yang dibaca Kiai Mukti Ali itu cukup panjang, yakni al-'Ibar wa Diwanu al-Mubtada wa al-Khabar fi Ayyami al-'Arabi wa al-'Ajam wa al-Barbar wa Man 'Asharahum min Dzawi al-Shulthani al-Akbar.


Diketahui, Ibnu Khaldun adalah seorang ulama Asy’ariyah yang hidup pada abad ke-13, pada tahun 1332 hingga 1406. Tokoh Muslim bernama lengkap Abu Zaid Abdurrahman bin Muhammad bin Khaldun Al-Hadhrami itu merupakan seorang sejarawan dari Tunisia dan sering disebut sebagai Bapak Pendiri Ilmu Historiografi, Sosiologi, dan Ekonomi.  


“Ibn Khaldun, hidup pada 7 abad lalu. Dia membedakan antara ahlul hadhara (masyarakat berperadaban) dengan ahlul badawa (masyarakat badui atau perkampungan). Jadi ada dua jenis masyarakat (menurut Ibnu Khaldun),” ungkap Kiai Mukti Ali, sembari membacakan kitab karya Ibnu Khaldun itu. 


Masyarakat berperadaban adalah orang-orang yang mampu memenuhi kebutuhan pokok (primer), serta mampu meraih kebutuhan sekunder dan tersier. Bahkan, orang-orang yang berperadaban itu bisa memenuhi hal-hal yang bisa menjadikan hidup menjadi lebih sempurna. 


“Itu orang-orang yang berperadaban. Tapi, kebutuhan primer harus lebih prioritas daripada sekunder, tersier, dan perfeksionisme,” jelas Kiai Mukti Ali. 


Ada pula masyarakat badui atau masyarakat yang hidup di desa. Menurut Ibnu Khaldun, orang-orang perdesaan ini adalah masyarakat yang dalam kesehariannya hanya mencukupkan diri pada kebutuhan primer. Mereka tidak mampu untuk meraih sesuatu yang lebih dari itu.


Menurut Kiai Mukti Ali, penjelasan Ibnu Khaldun itu menarik. Sebab di satu sisi, Ibnu Khaldun memuji orang yang berperadaban, tetapi secara objektif mengatakan bahwa orang perdesaan lebih dekat pada kebaikan daripada orang-orang berperadaban yang hidup di perkotaan. Ibnu Khaldun memandang bahwa kebaikan itu bukan soal banyaknya pengetahuan tetapi soal syahwat. 


“Jadi karena orang-orang desa hanya mencukupkan diri dengan (kebutuhan) primer, sedangkan orang berperadaban di kota itu tidak merasa cukup dengan hanya kebutuhan primer. Orang kampung itu juga lebih berani daripada orang-orang yang berperadaban, karena banyak pertimbangan, sementara orang-orang yang di perdesaan itu langsung saja (cepat melakukan sesuatu),” jelas Kiai Mukti.


Lebih lanjut dijelaskan, ciri-ciri ahlul hadhara atau orang berperadaban adalah melakukan perkawinan dengan orang lain yang berbeda budaya. Inilah yang disebut sebagai multikulturalisme. Mereka tidak segan menikah dengan pihak yang berada di luar dari suku, ras, dan budaya yang dianutnya. 


“Mereka kawin-mawin tidak melihat suku, tidak ahlul ashabiyah, tidak harus satu suku atau ras. Itu ciri orang berperadaban. Tapi orang-orang perdesaan itu, yang kurang berperadaban, kalau menikah harus dengan kerabat, biar harta kekayaannya tidak melebar,” jelas kiai kelahiran Cirebon, Jawa Barat, yang mengaku menikah dengan orang Betawi itu.


Kiai Mukti menjelaskan, ciri dari orang berperadaban adalah banyaknya kreasi, ilmu pengetahuan, dan inovasi. Orang-orang berperadaban juga harus punya jiwa kreasi untuk mempelajari berbagai ilmu. 


“Ilmu medsos, komputer, hacker, cracker, itu harus dipelajari oleh orang yang merasa berperadaban,” pungkasnya. 


Sebagai informasi, Halaqah Fiqih Peradaban ke-3 yang digelar PBNU di Pesantren Asshiddiqiyah Jakarta itu dihadiri juga oleh tiga pemateri lain yakni Akademisi NU Rumadi Ahmad, Katib Syuriyah PBNU KH Sarmidi Husna, dan Anggota LBM PBNU Nyai Hj Iffah Umiyati Ismail. 


Pewarta: Aru Lego Triono

Editor: Alhafiz Kurniawan