Nasional

Kiai Musthofa Aqil Siroj: Terimalah Aturan Allah dengan Iman

Rab, 5 Mei 2021 | 18:00 WIB

Kiai Musthofa Aqil Siroj: Terimalah Aturan Allah dengan Iman

Ilustrasi: Jika iman sudah menerima, apa pun bentuk aturan syariat Allah akan diterima dengan sangat gembira dan berusaha untuk merasa cocok.

Jakarta, NU Online
Rais Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Musthofa Aqil Siroj menegaskan bahwa syariat atau aturan Allah hampir tidak ada yang cocok dengan fisik dan akal. Karena itu, mesti diterima dengan iman. 

 

Salah satunya adalah puasa, syariat Allah yang tidak cocok dengan akal dan fisik. Sebab manusia diberi perut dan tenggorokan, tetapi tidak boleh makan dan minum. Hal ini tentu saja bertentangan dengan akal. 

 

"Syariat Allah itu hampir tidak ada yang cocok dengan fisik dan akal. Oleh karena aturan Allah itu tidak cocok, maka ketika ada aturan Allah hendaknya jangan diterima dengan akal dan fisik, tetapi terimalah dengan iman," tutur Kiai Musthofa secara virtual dalam Pesantren Ramadhan Majelis Telkomsel Taqwa (MTT), pada Rabu (5/5). 

 

Jika iman sudah menerima, katanya, apa pun bentuk aturan syariat Allah akan diterima dengan sangat gembira dan berusaha untuk merasa cocok. Maka, seperti puasa harus diterima dengan iman, jangan diterima dengan akal.

 

Kiai Musthofa kemudian berkisah tentang perseteruan antara akal dan iman yang pernah dialami Sayyidina Umar bin Khattab ketika sedang mengikuti Nabi Muhammad yang sedang melakukan thawaf. 

 

Saat sedang thawaf, Nabi Muhammad mencium hajar aswad. Melihat itu, Sayyidina Umar merasa heran dengan perilaku yang mencium batu. Padahal menurut Umar, secara logika, batu hanyalah batu yang tidak memiliki manfaat sama sekali. 

 

“Kata Sahabat Umar, batu tidak tidak ada manfaatnya. Karena yang bisa membuat panjang umur, membuat kaya, membuat orang sakit hanya Allah, bukan batu. Batu tidak bisa berbuat apa-apa,” kisah Kiai Musthofa.

 

“Ini artinya, sahabat Umar menerima perilaku Nabi dengan akal. Jelas tidak cocok. Hebatnya adalah membuat seakan-akan di sini ada perkelahian antara akal dan iman,” imbuh Pengasuh Pesantren KHAS Kempek, Cirebon, Jawa Barat ini.

 

Setelah itu, Sayyidina Umar mendengar shautul iman atau suara keimanan, dan terjadilah dialog di antara keduanya. Suara keimanan itu kemudian memberikan cara untuk beriman kepada Allah. 

 

“Ada suara keimanan, wahai Umar apakah engkau beriman kepada Allah? Umar menjawab, iya. Lantas berkata lagi, bagaimana cara kamu beriman kepada Allah? Sahabat Umar diam, ketika diam itulah, suara keimanan berkata lagi, inilah cara iman,” ujar Kiai Musthofa.

 

Cara iman yang dimaksud itu termaktub dalam Al-Quran, surat Ali Imran ayat 31. Allah berfirman, qul inkuntum tuhibbunallaha fattabi’uni yahbib kumullah (katakanlah, Muhammad, apabila kamu benar-benar mencintai Allah, maka ikutilah aku).

 

“Syaratnya (beriman kepada Allah) cuma satu yaitu ikuti saya. Tirulah saya, mutlak, cocok atau tidak cocok, ikuti saya. Ini adalah suara keimanan. Setelah itu, Sahabat Umar lantas mendekat kepada hajar aswad,” ucap Kiai Musthofa.

 

Menurutnya, Sayyidina Umar hebat karena tidak langsung mencium tetapi terlebih dulu berkata kepada hajar aswad itu bahwa apa yang dilakukannya itu semata-mata karena kecintaan kepada Nabi Muhammad. Sebab, secara akal, batu tidak ada manfaatnya. 

 

“Kalau saja saya tidak langsung melihat sendiri Nabi Muhammad mencium kamu, maka saya tidak mungkin aku mencium kamu. Tetapi berhubung saya melihat sendiri Nabi Muhammad mencium, sementara syarat mutlak iman kepada Allah harus mengikuti Nabi Muhammad, maka saya akan mengikuti Nabi Muhammad mencium kamu,” kata Kiai Musthofa, mengungkap pernyataan Sayyidina Umar kepada hajar aswad.

 

Sikap yang diambil Sayyidina Umar merupakan pelajaran yang agung. Jika akal dan iman tidak cocok atau berselisih, Kiai Musthofa menegaskan agar mampu memenangkan iman dalam perselisihan itu. 

 

“Kita garisbawahi bahwa Sahabat Umar mencium hajar aswad bukan karena cocok atau sesuai dengan akal, tetapi semata mengikuti Rasulullah. Ini sebagai konsekuensi iman,” pungkas Kiai Musthofa.

 

Alasan umat Islam berbahagia karena Ramadhan

Pada kesempatan itu, Kiai Musthofa Aqil Siroj juga mengungkap alasan umat Islam merasa bahagia karena kedatangan Ramadhan. Padahal, ibadah puasa yang dijalankan di dalamnya, terdapat banyak sekali larangan seperti tidak boleh makan dan minum di siang hari.

 

Kiai Musthofa mengutip sebuah hadits Nabi Muhammad yakni man fariha bi dukhuli Ramadhan jasadahu ‘alanniran. Barangsiapa yang berbahagia karena kedatangan bulan Ramadhan maka akan diselamatkan dari api neraka. 


"Tapi senang apa, orang tidak makan dan minum kok senang? Kalimat senang di sini adalah senang sebab ketika berpuasa, kita sedang dipanggil wahai orang beriman. Kita sedang disebut sebagai orang yang beriman," tuturnya.

 

Panggilan Allah secara khusus yang membuat bahagia umat Islam itu terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 183. Karena itu, karena telah diberi panggilan khusus maka dalam menjalankan ibadah puasa akan merasa sangat senang. 

 

"Maka seberapa pun risiko, lemas, dan laparnya dalam berpuasa, saya akan senang karena dengan puasa saya dipanggil wahai orang iman, dan yang memanggil adalah Allah, panggilannya terdapat dalam Al-Quran," tegasnya.

 

Oleh karena itu, ia mengajak umat Islam berdoa kepada Allah untuk dapat berpuasa dengan taat dan tambah meningkat. "Ini berarti memanggil kita sampai hari kiamat dengan panggilan sebagai orang beriman. Ini adalah kebahagiaan kita. Itu jugalah agar kita la’allakum tattaqun (menjadi orang yang bertakwa),” imbuhnya. 

 

Kini, hal yang mesti disyukuri adalah karena Ramadhan telah memasuki 10 hari terakhir. Para ulama memprediksi bahwa di akhir-akhir Ramadhan ini terdapat lailatul qadr, satu malam yang kebaikannya lebih baik dari 1000 malam. 

 

"Alhamdulillah kita memasuki 10 hari yang ketiga. Dalam 10 hari yang ketiga ini sangat diharapkan dan diprediksi terdapatnya lailatul qadr, terutama dalam tanggal-tanggal ganjil,” ucap Kiai Musthofa.

 

Karena itu, ia mengajak dan mengimbau umat Islam agar meningkatkan kadar atau kualitas amal di detik-detik terakhir Ramadhan ini. Caranya dengan lebih mendekatkan diri kepada Allah dan berusaha untuk lebih baik dari hari-hari yang telah lalu. 

 

"Minimal dalam 10 hari yang terakhir ini kita lebih baik dari hari-hari sebelumnya, lebih taqarrub (mendekatkan) kepada Allah lagi, lebih memperbanyak amal lagi, dan lebih meningkatkan nilai dari amal itu sendiri. Sebab yang namanya amal ibadah itu harus ada peningkatan," pungkasnya.

 

Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Kendi Setiawan