Nasional

Ragu Menghitung Rakaat Shalat, Begini Tips Ahli Sufi

Sel, 4 Mei 2021 | 20:30 WIB

Ragu Menghitung Rakaat Shalat, Begini Tips Ahli Sufi

Ilustrasi: Saat ragu-ragu jumlah rakaat shalat seseorang harus mengingat kembali kepada asal atau jumlah rakaat sebelum yang diragukan itu.

Jakarta, NU Online

Tidak jarang umat Islam saat melaksanakan ibadah shalat mendadak ragu-ragu akan jumlah rakaat yang sudah dilakukan. Bagaimana mengatasi persoalan seperti ini?

 

Pengasuh Ma'had 'Aly Roudlotul Muhibbin yang juga tokoh sufi, KH Luqman Hakim pada acara Pesantren Ramadhan yang digelar Majelis Telkomsel Taqwa (MTT) dan Majelis Ta’lim Telkom Group (MTT) Senin (3/5) memberikan tipsnya.

 

Kata Kiai Luqman Hakim, seluruh hukum dikembalikan kepada asalnya. Misalnya pada shalat dengan jumlah rakaat empat, seseorang ragu-ragu sudah rakaat ke berapa.

 

"Asalnya empat adalah angka tiga, kaidah fiqih seperti itu. Berarti saya sudah hilang ragu-ragu, shalat saya baru tiga rakaat saja. Kalau (menganggap sudah) empat rakaat (akan) ragu-ragu lagi," kata Kiai Luqman Hakim.

 

 

Namun hal itu berbeda dengan keraguan, apakah sudah batal atau belum. Menurut Kiai Luqman Hakim, dalam persoalan ini maka kembali ke asalnya yaitu pasti asalnya belum batal. Demikian juga saat ragu-ragu apakah sudah wudlu atau belum? Jawabannya pasti belum, keraguan pun akan hilang.

 

Sebelumnya Kiai Luqman Hakim menyampaikan bahwa pada dasarnya ada istilah ilmul yaqin, ainul yaqin, lalu haqqul yaqinIlmul Yaqin adalah rasa yakin yang diperoleh seseorang berdasarkan informasi yang dipercayai kebenarannya, meskipun belum pernah melihat dan membuktikan. Ainul yaqin merupakan rasa yakin yang didapatkan berdasarkan kenyataan yang pernah dilihat sendiri. Sementara haqqul yaqin adalah rasa yakin yang diperoleh berdasarkan pengalaman sendiri. 

 

Adanya ilmul yaqin, ainul yaqin, haqqul yaqin adalah untuk mengungkapkan bahwa seperti yang disebutkan oleh Sahal bin Abdullah, yakin itu adalah bentuk tambahnya iman atau manifestasi dari iman itu sendiri, lalu menjadi apa yang disebut yakin. Dalam bidang fiqih ini menjadi kaidah fiqih. 
 

Pada kesempatan itu, Kiai Luqman Hakim juga menjawab pertanyaan jamaah. Di antaranya, apakah seseorang bisa langsung melompat langsung pada haqqul yaqin misalnya dalam hubungannya dengan Allah, lalu apakah shalatnya sudah benar menghadap kepada Allah?

 

 

Menurut Kiai Luqman Hakim, seseorang bisa saja tiba-tiba meraih haqqul yaqin tanpa sebuah proses akademik atau pengetahuan. Seseorang mungkin ditarik hatinya oleh Allah, dibukakan rahasia Allah tanpa melalui suluk (dalam istilah tasawuf). 

 

"Bisa saja terjadi, sebenarnya itu juga cara Allah mendidik, bukan sudah final. Setelah itu dikembalikan lagi ke dalam pengetahuan 'Ini loh ainul yaqin'. Nah, itu ilmul yaqin," Kiai Luqman menjelaskan.

 

Menurutnya, untuk menjadikan seseorang yang sadar sudah menjadi yakin itu sendiri, identik dengan yakin, meski belum mengerti. Lama-lama diturunkan oleh Allah, pikirannya mulai mengurai dalam bentuk logika-logika pengetahuan. Kemudian, disampaikan kepada publik ditulis dalam kitab dan lain sebagainya, sudah berbentuk ilmul yaqin, karena itu berbentuk ilmu.

 

Namun, Kiai Luqman Hakim mengingatkan manusia tidak bisa ngotot memaksa sudah haqqul yaqin, atau tingkatan yakin yang mana, sebab adalah Allah yang akan mendatangkan rasa yakin.

 

 

"Ibadah sebagai instalasi yang sudah siap dinyalakan lampunya, seluruh instalasi itu tadi amal ibadah seseorang. Artinya, begitu lampu ini nyala karena ada instalasi. Bisa nggak nyala tanpa instalasi? Mungkin saja bisa karena proses menyalanya belum kita pelajari, mungkin ada faktor lain bukan adanya kabel dan lain-lain yang membuat menyala," ia mengibaratkan. Namun, kemudian diketahui proses lampu itu menyala ada sebabnya.

 

Semua itu sebagai potret prototipe yang dilakukan para sufi, bahwa yakin itu sangat dekat hubungannya dengan mukasyafah yakni tersingkap atau terbukanya rahasia Allah. Kiai Luqman Hakim juga menegaskan, orang yang sudah yakin akan terhindar dari kecemasan, kegelisahan, kegalauan.
 

Pewarta: Kendi Setiawan
Editor: Muchlishon