Nasional RISET DIKTIS

Kritik Sosial dalam 'Kidung Pangiling' Kiai Imam Malik Mojokerto

Sab, 12 Oktober 2019 | 10:00 WIB

Kritik Sosial dalam 'Kidung Pangiling' Kiai Imam Malik Mojokerto

Kidung Pangiling Kiai Imam Malik berisi kritik sosial termasuk fenomena kerusuhan 98 (Foto: wikipedia)

Fenomena pejabat yang korup, budaya kolusi dan nepotisme yang semakin menjamur di berbagai aspek masyarakat menjadi beberapa faktor ruwetnya tatanan negara pada masa menjelang reformasi tahun 1998. Banyak tokoh kemudian mencoba menyuarakan kritik kepada pemerintah atas kegelisahan mereka terhadap kondisi bangsa ini.
 
Di antaranya yaitu Kiai Imam Malik, Pengasuh Pondok Pesantren Sambung Sari Noto Projo Majapahit Bangkit Nusantara Jaya Losari, Mojosari Mojokerto, Jawa Timur. Untuk mengutarakan kritiknya tersebut, Kiai Imam kemudian menciptakan sebuah karya syair yang kemudian dikenal sebagai Kidung Pangiling.
 
Kidung ini ia tulis selama beberapa tahun, yakni mulai tahun 1997 hingga tahun 2006. Rupanya, meski Orde Baru telah runtuh, ia tetap konsisten untuk memperjuangkan keadilan sosial melalui karya syairnya. Sebab, menurutnya, meski Soeharto telah turun, namun kroni-kroninya masih tetap melenggang di pusat kekuasaan.
 
Pengingat Kerusakan Zaman
 
Dalam penelitian yang dilakukan Miftakhur Ridlo pada tahun 2018 berjudul Kritik Sosial dan Politik dalam Kidung Pangiling Karya Kiai Imam Malik, disebutkan syair yang diciptakan Kiai Imam ini menggunakan bahasa Jawa. Harapannya, dapat mempermudah orang-orang yang kemampuan bahasa Arabnya kurang baik, juga agar dapat menarik Muslim Jawa untuk membacanya. Selain itu, dengan syair pesan-pesan akan mudah dihafalkan.
 
Dalam Kidung Pangiling karya Kiai Imam Malik terurai menjadi beberapa bagian, yaitu syiiran yang dituliskan pada tahun 1997, 1998, 1999, 2000, 2001, 2005, 2006 dan akhir. Dalam setiap tahun terdiri dari beberapa nomor atau bab, seperti di tahun 1997 memiliki bab  I,III, IV, VI, dan VII, dan X, di tahun 1998 memiliki bab I, II, III, IV, V, VI, VII, VIII, IX, X, dan XI, di tahun 1999 memiliki bab I, II, III, IV, V, VI, VII, VIII, X, dan XI, di 2000 memiliki bab III, IV, V, VII, dan VIII, di tahun 2001 memiliki bab III, tahun 2005 menjelaskan secara garis besar dan 2006. Dalam syiiran yang terakhir memiliki bab I, II, IV, V, VI, VII, VIII dan IX.
 
Pada akhirnya, diharapkan, pembaca akan lebih mudah mengetahui maksud yang terkandung di dalamnya dan berusaha untuk mengamalkannya. Peneliti menyebutkan, cara ini pula yang dilakukan oleh Walisongo, di antaranya Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga yang banyak membuat syair dan tembang untuk mengenalkan ajaran Islam kepada masyarakat.
 
Selain itu, syair yang diciptakan Kiai Imam Malik ini juga termasuk dalam karya sastra yang mengandung kritik sosial. Sebuah karya, yang tidak hanya dinikmati keindahan tata bahasa semata, tapi juga penuh sarat makna akan gambaran sosial tertentu, serta tanggapan pengarang akan situasi sosial tersebut.
 
Seperti salah satu nukilan syair di dalam Kidung Pangiling ini.
 
Tahun 97 bakal mesti muncul/Lali sanak lan lali dulur/Rebutan bener kepengin unggul/Padha petenge akhire ngawur//
 
Syair itu berarti, Tahun 1997 akan bermunculan, orang yang lupa saudara dan handai taulan, saling berebut merasa yang paling benar, pada akhirnya semua justru hancur.
 
Menurut hasil penelitian yang didukung Diktis Pendis Kemenag ini, kutipan syair yang ditulis Kiai Imam Malik menjelang berlangsungnya Pemilihan Umum (Pemilu) pada tahun 1997, di mana telah kita ketahui, sebelum hari H Pemilu, banyak terjadi peristiwa kerusuhan dan kerusakan, yang banyak menelan korban jiwa.
 
Oleh Kiai Imam, kita kemudian diingatkan agar tidak menjadi ikut-ikutan 'ngawur', hanya untuk berebut kuasa dan jabatan, kemudian melupakan jati diri kita sebagai sebagai sebuah entitas persaudaraan satu bangsa, dan bahkan rela untuk mengorbankan banyak jiwa, yang pada akhirnya justru membuat kondisi negeri ini tambah suram (peteng).

Petikan berikutnya, Mulo sedulur sing ati-ati/Wis padha brutal nuruti ati/Imane ilang akeh sing mati/Padha pecah belah rebutan kursi//
 
Bagian itu, secara harfiah berarti, Maka berhati-hatilah saudaraku, Jangan turuti hawa nafsu, iman pun bisa hilang bahkan mati, lantas saling pecah belah berebut jabatan.
 
Ironisnya, nasihat ini ternyata tak lekang zaman, tidak hanya ditujukan kepada masyarakat yang hidup di masa Pemilu 1997 semata, tapi sampai saat ini masih kita rasakan sama keadaannya.
 
Penelitian tersebut dilakukan berkat dukungan bantuan Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam (Dit PTKI) Direktorat Jenderal Pendidikan Islam (Ditjen Pendis) Kementerian Agama RI tahun anggaran 2018.
 
Penulis: Ajie Najmuddin
Editor: Kendi Setiawan