Nasional

Kualitas Makalah dan Presenter ISRL Kemenag Harus Ditingkatkan

Sab, 7 November 2020 | 21:00 WIB

Kualitas Makalah dan Presenter ISRL Kemenag Harus Ditingkatkan

Dicky Sofjan (paling kiri) bersama para panelis ISRL Kemenag. (Foto: NU Online/Musthofa Asrori)

Bogor, NU Online
Gelaran International Symposium on Religious Life (ISRL) 2020 yang dihelat Balitbang Diklat Kemenag di Cisarua Bogor, Jawa Barat, resmi ditutup. Penutupan dipimpin langsung oleh salah satu narasumber merangkap panitia, yakni Dicky Sofjan dari Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS) Yogyakarta.


“Kita akan bertemu lagi untuk menindaklanjuti acara ini dua tahun lagi, yakni 2022. Saya ingin melihat kualitas paper dan presenter yang lebih baik lagi. Pada 2018 ada 75-80 paper yang dipresentasikan. Tahun ini kita punya 121 paper. Ada peningkatan, tapi kualitas tetap harus kita jaga,” kata Dicky.


Baca juga:  Simposium Internasional Balitbang Diklat Kemenag Kembali Digelar


Alumnus National University of Singapore ini mengatakan, dirinya telah dua kali terlibat dalam kepanitiaan atau steering committee (SC) untuk simposium internasional kehidupan keagamaman bersama Balitbang Kemenag RI. Ia mengaku bahagia sekali karena acara ini berjalan lancar.


“Meskipun terus terang ini baru pertama kali kami mengadakannya dengan sistem hybrid. Jadi, ada peserta dan presenter yang hadir secara fisik di vanue sini di Royal Safari Garden Hotel. Tapi, lebih banyak orang yang berpartisipasi melalui Zoom,”  ujarnya kepada NU Online usai penutupan ISRL pada Kamis (5/11).


“Dan saya bersyukur bahwa tahun ini kami kedatangan para sarjana terkemuka dari 12 negara yang berpartisipasi menjadi keynote speaker, jadi speaker di plenary sessions kami, dan special sessions kami. Terus terang kami bangga dan akan selalu mendukung Kemenag untuk penyelenggaraan acara simposium ini,” tandasnya.


Baca juga: Menag: Era Disrupsi Perlu Disikapi dengan Arif dan Moderasi Beragama


Saat ditanya isu menarik apa yang muncul dalam diskusi, Dicky mengatakan bahwa sebenarnya tema tahun ini adalah kehidupan beragama, etika, dan martabat kemanusiaan di era disruptif.


“Jadi, kami melihat bahwa memang isu-isu inilah yang menjadi permasalahan di hampir semua region di dunia hari ini. Termasuk di Amerika, Eropa, Asia, Afrika Timur Tengah, Australia dan di mana-mana,” tutur Dicky.


Tiga isu utama
Pihaknya ingin melihat bagaimana dunia ini sedang mengarah. Setidaknya ada tiga isu utama. Pertama, ia melihat ada peningkatan terhadap kehidupan beragama yang diiringi semacam tren yang mengarah pada konservatisme dan populisme. “Ini sebenarnya yang menjadi perhatian utama kita semua di simposium internasional ini,” sambungnya.


Kemudian, lanjut dia, isu kedua yang menjadi perhatian di simposium ini adalah etika. Menurut dia, etika menjadi permasalahan di banyak sekali belahan dunia hari ini. Sebab, orang sudah mulai kehilangan arah dalam kehidupan mereka, kehilangan arah dalam berpikir dan berempati, sehingga kita butuh mengangkat lagi isi tentang etika.


Baca juga: Prof Gunaryo: Jadikan ISRL 2020 Bursa Ide dan Wahana Berjejaring


“Ketiga, atau yang terakhir, menyangkut masalah harkat dan martabat kemanusiaan. kita melihat bahwa selama ini kita banyak berbicara tentang hak-hak asasi manusia. Tapi sebenarnya yang ada di dalam sebagai esensi dari hak asasi manusia itu sebenarnya adalah martabat kemanusiaan,” terang Dicky.


Dan ini, kata dia, terdapat di Universal Declaration of Human Rights. Lalu, di UN Charter, dapat ditemui di Pancasila, dan UUD 1945. Akan tetapi, sedikit sekali orang yang paham sebenarnya di mana letak dan fungsi harkat dan martabat kemanusiaan ini.


Baca juga: ISRL Kemenag Dukung Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di ASEAN


“Saya kira, upaya kita di simposium ini adalah untuk memperbincangkan hal itu agar masyarakat dunia khususnya komunitas beragama bisa mulai memikirkan kembali tentang peranan sentral dari harkat dan martabat kemanusiaan itu dalam kehidupan kita sehari-hari,” paparnya.


Tragedi Prancis
Saat disinggung soal isu kekinian kaitannya dengan semangat keagamaan seseorang yang terjadi di Prancis, Dicky mengaku sangat menyayangkan bahwa pemerintah Prancis, khususnya Presiden Macron, mendukung kegiatan-kegiatan yang tampak sekali melecehkan Islam, melecehkan Nabi Muhammad SAW yang terus terang menjadi panutan bagi hampir 1,8 miliar manusia, hampir seperempat manusia di seluruh bumi.


“Artinya, insensitivitas seperti inilah yang sebenarnya menjadi alasan kenapa kita ingin mendiskusikan hal-hal menyangkut masalah kehidupan agama, etika, dan martabat kemanusiaan,” ujarnya.


Baca juga: Peneliti Australia Sebut Mbah Hasyim Dorong NU Jadi Komunitas Moral


“Karena jelas sekali bahwa bangsa Prancis yang sangat bangga dengan ideologi yang sangat menjunjung tinggi sekularisme yang ekstrem itu ternyata sangat rawan. Sebab, bisa dimanfaatkan oleh sebagian kecil orang di sana untuk melecehkan agama-agama yang ada di dunia ini,” sambung Dicky.


Tentu saja, lanjut dia, kita harus sangat menyayangkan dan bahkan mengecam segala macam tindak kekerasan yang dilakukan terhadap siapapun atas nama agama. “Kalau seandainya Rasulullah SAW hadir hari ini dan kalau pun beliau dilecehkan, kalau kita baca Sirah Nabawiyah, tentunya kita menyadari bahwa beliau tidak akan marah,” ungkapnya.


Melalui Sirah Nabawiyah itu, kata Dicky, kita tahu bahwa beliau itu senang merangkul musuh-musuh beliau, senang merangkul orang-orang yang suka mengecam beliau. Bahkan yang sering melempar sampah dan kotoran kepada beliau.


“Sebaliknya beliau justru mendoakan mereka agar mereka bisa kembali ke jalan yang lurus. Saya kira di sinilah dibutuhkannya etika, pemahaman tentang etika, pemahaman tentang martabat kemanusiaan yang seharusnya bisa berlaku secara universal di dunia ini,” tuturnya.


Baca juga: Rektor Perempuan Masih Terhitung Jari, PMA 68/2015 Perlu Direvisi
 

Saat ditanya bagaimana sikap kita terhadap tragedi di Prancis itu, Dicky mengatakan jika kita mengikuti sunnah Rasul maka kita bisa melakukannya dalam tiga level. Pertama, dengan tangan. Kedua, dengan mulut. Ketiga, dengan kebencian di dalam hati.


“Katanya itu yang selemah-lemahnya iman. Tetapi, saya kira kita juga harus mengerti konteks sosial dan konteks politik hari ini. Jadi, sebenarnya tidak ada yang namanya perang antaragama di dunia. Salah kita kalau mempersepsikan bahwa Islam ini dimusuhi oleh Kristen, oleh Yahudi, dan oleh agama-agama lain. Karena kenyataannya bukan demikian,” terangnya.


Menurut Dicky, itu hanya sebagian orang-orang oknum-oknum tertentu yang berada di komunitas-komunitas itu yang mungkin punya pandangan yang ekstrem. Di umat Islam pun banyak orang yang memiliki pandangan ekstrem. “Tetapi, pandangan ekstrem itu tidak boleh kita anggap sebagai representasi atau perwakilan dari opini maupun sentimen dari komunitas itu,” tandasnya.


Dalam dunia akademik, kata dia, inilah yang disebut over generalization. Kita tidak boleh menggeneralisasikan secara berlebihan terhadap ungkapan-ungkapan atau opini, sentimen, dan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh sebagian kecil orang dari komunitas lain terhadap komunitas kita.


“Artinya, di dalam Islam itu sebaiknya kita mengenal prinsip proporsionalitas. Saya kira, kita orang Islam yang memegang teguh akhlakul karimah dan yang mengikuti sunnah Nabi Muhammad SAW harusnya kita bisa menjaga akhlak kita, menjaga ucapan, dan tindakan kita sesuai dengan porsinya,” pungkas Dicky.


Pewarta: Musthofa Asrori
Editor: Kendi Setiawan