Nasional

Larang Baca Naskah Kuno, Cara Belanda Redam Perlawanan Bangsa Indonesia

Kam, 31 Oktober 2019 | 04:30 WIB

Larang Baca Naskah Kuno, Cara Belanda Redam Perlawanan Bangsa Indonesia

Oman Fathurahman dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sedang berbicara dalam diskusi digitalisasi naskah kuno. (Foto: Dok. Dreamsea)

Tangerang Selatan, NU Online
Naskah kuno seringkali masih dikeramatkan. Keberadaannya menimbulkan beragam mitos yang dibuat-buat. Tak sedikit masyarakat yang menyimpan naskah enggan membukanya karena khawatir kualat dan sebagainya.
 
Opan Safari, ahli pernaskahan Cirebon, mengungkapkan bahwa hal tersebut merupakan bentuk pembodohan yang dilakukan oleh Belanda kepada masyarakat Nusantara.
 
“Itu sebetulnya kebijakan Belanda. Saya juga dapat cerita dari orang-orang tua Belanda itu ada upaya untuk kalau tidak menyita (naskah), ya melarang untuk membuka,” katanya kepada NU Online mengutip pernyataan Kiai Asy’ari, tokoh lokal Cirebon, usai pelatihan digitalisasi manuskrip di Bintaro, Tangerang Selatan, Banten, Rabu (30/10).
 
Artinya, lanjut Opan, kalau naskah tersebut dibuka akan membuat masyarakat sekitar menjadi pintar, memahami beragam pengetahuan yang tentu akan berdampak pada timbulnya gerakan perlawanan terhadap Belanda. 
 
Hal demikian ia temukan di Desa Bayalangu, Kecamatan Gegesik, Kabupaten Cirebon. Saat ingin mengetahui dan membuka naskah yang berada di desa tersebut, ia mendapatkan halangan.
 
Pertama, mereka melarang orang biasa membuka naskah tersebut. Sebab, yang boleh hanya orang keraton. Ia lalu mengaku dari keraton. Pemegang naskah pun memperhatikannya dengan saksama. Syarat kedua pun muncul, yakni harus orang setempat yang dapat membuka naskah tersebut. Kebetulan, ia beristri perempuan yang berasal dari daerah tersebut. Masyarakat sekitar pun mengenal mertuanya.
 
Namun, halangan untuk membuka naskah itu tidak berhenti pada dua hal tadi. Syarat terakhir yang harus dipenuhi oleh Opan adalah harus mengadakan tahlilan lebih dahulu. Naskah tersebut harus ‘dimandikan’ dalam arti dibungkus kain kafan.
 
Usai tahlilan, barulah naskah yang ditempatkan di besek itu boleh dibuka. Setelah besek dibuka, ternyata tidak langsung naskah, tetapi ada 24 lapis kain kafan yang menutupi naskah tersebut. Setiap lapisan kafan tersebut menandai kepemimpinan salah seorang kepala desa setempat.
 
“Salah satu kewajiban kuwu (kepala desa) di situ adalah melapisi naskah dengan kain kafan,” kata Dewan Pakar Lembaga Seniman dan Budayawan Muslim Indonesia (Lesbumi) Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Cirebon itu.
 
Setelah naskah berhasil dibuka, ia pun membacanya. Ternyata, naskah tersebut berisi ajaran-ajaran fikih. “Ternyata isinya fiqih. Semuanya fiqih, ya tentang shalat, wudlu, dan sebagainya. Bagi semua orang itu penting karena pelajaran utama,” ujar dosen Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syekh Nurjati Cirebon itu.
 
Rawat Naskah dengan Digitalisasi
Para filolog berupaya mengatasi persoalan tersebut dengan mendigitalkannya. Hal itulah yang dilakukan oleh Digital Repository of Endangered and Affected Manuscripts in Southeast Asia (Dreamsea), sebuah progean dimotori oleh Filolog Indonesia Oman Fathurahman dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Filolog Jerman Jan van Der Putten dari Universitas Hamburg.
 
Oman mengatakan, Dreamsea pada prinsipnya mendigitalisasi naskah-naskah kuno dan membuatnya terbuka bagi siapa saja yang ingin mengaksesnya. “Semua orang dapat mengaksesnya secara gratis,” katanya saat diskusi pada pembukaan kegiatan pelatihan digitalisasi.
 
Menurut dia, digitalisasi naskah-naskah yang sudah mengkhawatirkan kerusakannya itu dilakukan sebagai upaya merawat kandungan nilai-nilai teks yang ada pada naskah tersebut.
 
Saat ini, Dreamsea sudah berjalan dua tahun. Ismatu Ropi, Koordinator Program, menyampaikan bahwa selama dua tahun ini, Dreamsea telah mendokumentasikan lebih dari 42 ribu gambar.
 
Pewarta: Syakir NF
Editor: Musthofa Asrori