Nasional RISET DIKTIS

Maqashid Syariah sebagai Basis Fiqih Tranformatif untuk Peningkatan Kualitas Komunitas Petani

Sen, 21 Oktober 2019 | 09:00 WIB

Maqashid Syariah sebagai Basis Fiqih Tranformatif untuk Peningkatan Kualitas Komunitas Petani

Ilutrasi lahan pertanian (bappeda.jatimprov.go.id)

Titik awal dari adanya maqashid syariah bermula pada gagasan yang ditawarkan oleh asy-Syatibi. Seperti yang dijelaskan oleh Mawardi (2010, 188), bahwa asy-Syatibi kemudian dikukuhkan menjadi mu‘assis ‘ulum al-maqashid asy-syari’ah. Hallaq berpendapat, bahwa di tangan asy-Syatibi-lah ushul fiqhi mencapai titik perkembangan intelektual. Dan, maqashid syariah pun menjadi bagian dari ushul fiqhi. Hingga pada masanya Ibnu ‘Asyur, maqashid syariah menjadi suatu disiplin ilmu tersendiri dan berevolusi menjadi sebuah pendekatan. 

Imam Ghazali juga sebagai salah satu dari tokoh yang menaruh perhatian terkait maqashid syariah. Menurut Imam Ghazali untuk menuju pada tujuan syara’ yakni maslahah, pada harus memperhatikan lima perkara. Yaitu, menjaga agama, jiwa, akal, keturunan dan harta benda. (Mawardi: 2010, 180-181). 

Terkait dengan pembahasan fiqih sendiri, kemudian berkembang dengan tambahan beberapa istilah, semisal fiqih sosial. Fiqih ini berpijak pada paradigma bahwa fiqih harus dibaca dalam konteks pemecahan dan pemenuhan tiga jenis kebutuhan manusia, yakni dharuriyat (primer), hajjiyat (sekunder), dan tahsiniyat (tersier). Nahdhatul Ulama (NU), dengan bekerjasama dengan P3M dan RMI, merumuskan lima ciri dari fiqih sosial, salah satu di antaranya yaitu menafsirkan teks-teks fiqih secara kontekstual (Mahfudh: 2014, xxxv-xxxiv). Di samping itu, juga ada istilah fiqih tranformatif. Fiqih ini dideskripsikan sebagai fiqih yang dibangun dari paradigma formalistik-tekstual maupun paradigma sosial-kontekstual.
   
Salah satu penelitian yang menerapkan fiqih tranformatif yaitu penelitian yang dilakukan oleh Muhyar Fanani, Nur Hasyim, dan Endang Supriadi, dengan judul Implementasi Fikih Transformatif pada Komunitas Petani. Penelitian dilakukan di Desa Munggut, Kecamatan Padas, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur, dengan tujuan untuk pemberdayaan masyarakat. Sebab, mayoritas dari masyarakat yang berprofesi sebagai petani adalah beragama Islam yang tentunya sangat lekat dengan fiqih.
 
Target yang dicapai dalam penelitian yang dilakukan berkat dukungan bantuan Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam (Dit PTKI) Direktorat Jenderal Pendidikan Islam (Ditjen Pendis) Kementerian Agama RI tahun anggaran 2018, adalah membentuk masyarakat petani di desa tersebut agar berperilaku secara efisien, berdaya saing tinggi, modern, dan tentunya berdikari dengan basis fiqih transformatif. 
 
Fiqih tranformatif tersebut, menurut Muhyar, dkk, dapat diimplentasikan dalam lima langkah. Pertama, menerapkan sistem nilai Al-Qur;an dan sunah terkait ekonomi pertanian. Ekonomi Islam tidaklah mengenal sistem kapitalisme ataupun sosialisme, tapi lebih menitikberatkan pada sikao ta’awun atau tolong menolong. Atau yang dalam istilah Bung Hatta adalah ekonomi Pancasila, sebab secara sunstantif sejalan dengan ajaran Islam, yakni gotong-royong.
 
Kedua, merevitalisasi maqashid. Basis dari fiqih transformatif adalah dengan berkiblat pada maqashid yang sudah digagas oleh asy-Syatibi. Yakni, memfokuskan pada subtansi yang terkandung dalam syariat bukan pada kulitnya. Dengan cara ini, nilai-nilai yang ada pada fikih akan membumi pada masyarakat. Ketiga, memberikan pelatihan bagaimana cara berpikir kritis dalam dunis pertanian. Cara berpikir ini sangat diperlukan untuk menumbuhkan sikap kemandirian pada diri seorang petani. Selain itu, juga harus ada keikutsertaan pemerintah dalam memberikan dukungan untuk mewujudkan kemadirian tersebut.
 
Keempat, memberikan pelatihan terkait visi tranformatif petani. Tujuan yang ingin dicapai atau tidak hanya perubahan pada individu saja, akan tetapi juga pada perubahan tingkat struktur sosial. Yang pada nantinya akan berimbas pada hubungan yang baik antara petani yang satu dengan yang lainnya. Tahapan-tahapan dari transformasi ini bisa diawali dengan mengenali dengan baik setiap masalah yang ada. Hingga melakukan identifikasi pada akar permasalahannya. Dengan adanya fikih transformatif tersebut, seorang petani akan mengerahkan segala upayanya dengan diikuti oleh kesadaran kritisnya untuk melakukan apapun, demi terwujudnya penjagaan atau perlindungan yang maksimal atas agama, jiwa, akal, keturunan dan harta benda. 

Kelima, merencanakan aksi pemberdayaan petani. Hal ini bisa ditempuh dengan cara menguatkan kapasitas seorang petani dalam mengatasi masalah dan organisasi kelompok, serta memaksimalkan pemanfaatan sendang dan penghijauan. Dan, yang terakhir yakni aksi pemberdayaan petani.
 
Dari langkah sebelumnya, yaitu cara untuk menguatkan kapasitas petani kemudian dibentuk kelas tranformatif petani sebagai cara untuk mendampingi petani bagaimana cara untuk mengidentifikasi masalah dan apa solusi yang tepat. Selanjutnya, memberikan pemahaman kepada petani mengenai pentingnya menjaga dan memanfaatkan secara optimal penggunanaan dari sumber daya air. Tahap terakhir adalah dengan menguatkan kapasitas organisasi kelompok tani, semisal dengan membentuk paguyuban dan yang sejenisnya.  
 
Dari penelitiannya, menurut Muhyar, dkk, penerapan fiqih transformatif telah berhasil mengubah paradigma masyarakat di desa tersebut. Yakni, tumbuhnya sikap mandiri dalam masyarakat. Hal ini dibuktikan dengan kesadaran masyarakat dengan membentuk kelompok-kelompok yang bisa menunjang pertanian mereka.
 
Dengan adanya penelitian ini juga diharapkan pemerintah yang berafiliasi dengan dunia pertanian untuk meningkatkan kemandirian petani agar bisa bersaing secara global. Semisal, dengan dibentukknya program pemberdayaan tani atau yang sejenisnya. Sehingga, kesejahteraan untuk kaum petani bisa tercapai. 
 
 
Penulis: Miatul Qudsia
Editor: Kendi Setiawan