Maqashid Syariah sebagai Basis Fiqih Tranformatif untuk Peningkatan Kualitas Komunitas Petani
Senin, 21 Oktober 2019 | 09:00 WIB
Imam Ghazali juga sebagai salah satu dari tokoh yang menaruh perhatian terkait maqashid syariah. Menurut Imam Ghazali untuk menuju pada tujuan syara’ yakni maslahah, pada harus memperhatikan lima perkara. Yaitu, menjaga agama, jiwa, akal, keturunan dan harta benda. (Mawardi: 2010, 180-181).
Terkait dengan pembahasan fiqih sendiri, kemudian berkembang dengan tambahan beberapa istilah, semisal fiqih sosial. Fiqih ini berpijak pada paradigma bahwa fiqih harus dibaca dalam konteks pemecahan dan pemenuhan tiga jenis kebutuhan manusia, yakni dharuriyat (primer), hajjiyat (sekunder), dan tahsiniyat (tersier). Nahdhatul Ulama (NU), dengan bekerjasama dengan P3M dan RMI, merumuskan lima ciri dari fiqih sosial, salah satu di antaranya yaitu menafsirkan teks-teks fiqih secara kontekstual (Mahfudh: 2014, xxxv-xxxiv). Di samping itu, juga ada istilah fiqih tranformatif. Fiqih ini dideskripsikan sebagai fiqih yang dibangun dari paradigma formalistik-tekstual maupun paradigma sosial-kontekstual.
Salah satu penelitian yang menerapkan fiqih tranformatif yaitu penelitian yang dilakukan oleh Muhyar Fanani, Nur Hasyim, dan Endang Supriadi, dengan judul Implementasi Fikih Transformatif pada Komunitas Petani. Penelitian dilakukan di Desa Munggut, Kecamatan Padas, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur, dengan tujuan untuk pemberdayaan masyarakat. Sebab, mayoritas dari masyarakat yang berprofesi sebagai petani adalah beragama Islam yang tentunya sangat lekat dengan fiqih.
Kedua, merevitalisasi maqashid. Basis dari fiqih transformatif adalah dengan berkiblat pada maqashid yang sudah digagas oleh asy-Syatibi. Yakni, memfokuskan pada subtansi yang terkandung dalam syariat bukan pada kulitnya. Dengan cara ini, nilai-nilai yang ada pada fikih akan membumi pada masyarakat. Ketiga, memberikan pelatihan bagaimana cara berpikir kritis dalam dunis pertanian. Cara berpikir ini sangat diperlukan untuk menumbuhkan sikap kemandirian pada diri seorang petani. Selain itu, juga harus ada keikutsertaan pemerintah dalam memberikan dukungan untuk mewujudkan kemadirian tersebut.
Keempat, memberikan pelatihan terkait visi tranformatif petani. Tujuan yang ingin dicapai atau tidak hanya perubahan pada individu saja, akan tetapi juga pada perubahan tingkat struktur sosial. Yang pada nantinya akan berimbas pada hubungan yang baik antara petani yang satu dengan yang lainnya. Tahapan-tahapan dari transformasi ini bisa diawali dengan mengenali dengan baik setiap masalah yang ada. Hingga melakukan identifikasi pada akar permasalahannya. Dengan adanya fikih transformatif tersebut, seorang petani akan mengerahkan segala upayanya dengan diikuti oleh kesadaran kritisnya untuk melakukan apapun, demi terwujudnya penjagaan atau perlindungan yang maksimal atas agama, jiwa, akal, keturunan dan harta benda.
Kelima, merencanakan aksi pemberdayaan petani. Hal ini bisa ditempuh dengan cara menguatkan kapasitas seorang petani dalam mengatasi masalah dan organisasi kelompok, serta memaksimalkan pemanfaatan sendang dan penghijauan. Dan, yang terakhir yakni aksi pemberdayaan petani.
Terpopuler
1
Kronologi Penembakan terhadap Guru Madin di Jepara Versi Korban
2
Silampari: Gerbang Harapan dan Gotong Royong di Musi Rawas
3
Sejarah Baru Pagar Nusa di Musi Rawas: Gus Nabil Inisiasi Padepokan, Ketua PCNU Hibahkan Tanah
4
NU Peduli Salurkan Bantuan Sembako kepada Pengungsi Erupsi Lewotobi
5
Hukum Mengonsumsi Makanan Tanpa Label Halal
6
Kekompakan Nahdliyin Inggris Harus Terus Dijaga
Terkini
Lihat Semua