Nasional RISET DIKTIS

Penggambaran Ustadz Karbitan dalam 'Kidung Pangiling' Kiai Imam Malik Mojokerto

Ahad, 20 Oktober 2019 | 11:30 WIB

Penggambaran Ustadz Karbitan dalam 'Kidung Pangiling' Kiai Imam Malik Mojokerto

Ilustrasi ustadz dadakan (Foto: jalandamai.org)

Dalam bait-bait syair Kidung PangilingĀ yang ditulis Pengasuh Pesantren Sambung Sari Noto Projo Majapahit Bangkit Nusantara Jaya Losari,Ā Mojosari,Ā Mojokerto, Kiai Imam Malik, kita diingatkan akan beberapa tanda datangnya akhir zaman, antara lain:
Ā 
/Rebutan weteng kanggo idaman/ pangkat lan drajat dadi royokan/ wong wanita wis dadi piguran/ iku tanda akhire zaman//
Ā 
(berebut harta dan kemewahan, jabatan dan kekuasaan juga diperebutkan, wanita dipertontonkan, ini sebagian dari tanda akhir zaman).
Ā 
Dijelaskan Kiai Imam, tanda-tanda ini juga berkaitan dengan potret masyarakat dalam beragama. Di mana menurut, Kiai Imam Malik, di masa akhir zaman, agama yang semestinya menjadi tuntunan justru hanya dijadikan sebagai tontonan.
Ā 
/Iku ngunu gunaris zaman/ Anane qur'an mung kanggo darusan/ Agama bae mung tinggal aran/ dununge Islam mung kanggo suguhan//
Ā 
Dari nukilan syair di atas, Kiai Imam Malik, juga menjelaskan di antara tanda akhir zaman adalah kitab Al-Qur'an hanya sekedar dibaca tanpa diresapi makna dan tafsirnya untuk diamalkan. Kemudian ajaran agama, hanya menjadi sekadar simbol serta formalitas semata.
Ā 
Dari itulah, Kiai Imam kemudian mengajak agar senantiasa waspada dan ingat akan berbagai fenomena ini, yang juga ditandai dengan banyaknya oknum yang berpenampilan layaknya ustadz. Ustadz-ustadz karbitan ini sejatinya tidak mengajarkan agama, tetapi menjadikan agama sebagai bahan untuk mengeruk keuntungan.
Ā 
/Mula elinga kanti waspada/ supaya slamet pengaruh palsune dewa/ akeh wong macak kyai sejatine germo/ ketoke ngaji tapi dodol agama//
Ā 
(Maka ingatlah dan senantiasa waspada, agar selamat dari palsunya muslihat orang yang berperan bak dewa, ada pula yang berperan seperti kiai akan tetapi sejatinya berperilaku bejat, kelihatannya mengajarkan agama tetapi sejatinya ia sedang menjualnya (agama).
Ā 
Fenomena yang tergambar dalam nukilan syair ini, ketoke ngaji tapi dodol agama, bisa dengan mudah kita saksikan di zaman ini. Terlebih, dengan teknologi mampu mencitrakan sebuah sosok-sosok agamawan yang begitu terkenal di media sosial. Fatwa-fatwa para kiai medsos ini seringkali lebih didengar dan dipatuhi daripada para ulama sejati.
Ā 
Miftakhur Ridlo dalam penelitiannya pada tahun 2018 berjudul Kritik Sosial dan Politik dalam Kidung Pangiling Karya Kiai Imam MalikĀ menyebutkan Kidung PangilingĀ ini diciptakan di tengah suasana menjelang datangnya era reformasi. Di mana kekacauan dalam berbagai aspek tengah terjadi.
Ā 
Karya sastra ini ditulis dalam bahasa Jawa yang terurai menjadi beberapa bagian, yaitu syiiran yang dituliskan pada tahun 1997, 1998, 1999, 2000, 2001, 2005, 2006 dan akhir. Dalam setiap tahun terdiri dari beberapa nomor atau bab, seperti di tahun 1997 memiliki bab I,III, IV, VI, dan VII, dan X, di tahun 1998 memiliki bab I, II, III, IV, V, VI, VII, VIII, IX, X, dan XI, di tahun 1999 memiliki bab I, II, III, IV, V, VI, VII, VIII, X, dan XI, di 2000 memiliki bab III, IV, V, VII, dan VIII, di tahun 2001 memiliki bab III, tahun 2005 menjelaskan secara garis besar dan 2006. Dalam syiiran yang terakhir memiliki bab I, II, IV, V, VI, VII, VIII dan IX.
Ā 
Melalui kidung ini, menurut penelitian yang dilakukan berkat dukungan bantuan Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam (Dit PTKI) Direktorat Jenderal Pendidikan Islam (Ditjen Pendis) Kementerian Agama RI tahun anggaran 2018, Kiai Imam Malik mencoba menyampaikan kritik sosial dalam bentuk karya sastra. Sebuah karya, yang tidak hanya dinikmati keindahan tata bahasa semata, tapi juga penuh sarat makna akan gambaran sosial tertentu, serta tanggapan pengarang akan situasi sosial tersebut. Penelitian tersebut dilakukan olehĀ Miftakhur Ridlo
Ā 
Ā 
Penulis: Ajie Najmuddin
Editor: Kendi Setiawan