Nasional RISET DIKTIS

Megatruh Ki Ageng Selo tentang Rintangan Manusia Menggapai Tuhannya

Sel, 15 Oktober 2019 | 00:00 WIB

Megatruh Ki Ageng Selo tentang Rintangan Manusia Menggapai Tuhannya

Ilustrasi (pixabay)

Rima Ronika dari Sekolah Tinggi Agama Islam Sunan Pandanaran (STAISPA) Yogyakarta dalam penelitian berbasis pengabdian kepada masyarakat berjudul Corak Ajaran Tasawuf dalam Pêpali Ki Agêng Selo Ditinjau dari Perspektif Hermeneutik Friedrich Daniel Ernst Schleiermacher, mengungkapkan bahwa, melalui syair atau tembang Megatruh, Ki Ageng Selo menjelaskan rintangan-rintangan yang dihadapi manusia saat berusaha menggapai Tuhannya.
 
Keterangan tentang hal ini, tulis Rima dalam laporan peneliannya, dijelaskan dalam pupuh pertama. Oleh karena banyaknya tantangan yang hendak mencelakakan dan menipu manusia, untuk menggapai Tuhan manusia harus berjuang dengan kekuatan penuh dan selalu bersikap hati-hati.

Selain itu, lanjut Rima dalam penelitian yang dilakukan berkat dukungan bantuan Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam (Dit PTKI) Direktorat Jenderal Pendidikan Islam (Ditjen Pendis) Kementerian Agama RI tahun anggaran 2018, di pupuh kedua, Ki Ageng Selo kembali mengulang tentang konsep sebab akibat dari perbuatan baik-buruk sebagaimana dijabarkan dalam bab-bab sebelumnya.
 
Pupuh ketiga, menjelaskan tentang sifat Tuhan yang pemurah dan pengasih penyayang. Akan tetapi, walaupun Tuhan maha kasih manusia tidak bisa seenaknya berharap kasih sayang Tuhan tanpa melakukan kebaikan dan meninggalkan kejelekan. Oleh karenanya dalam pupuh keempat sampai sepuluh, Ki Ageng Selo mengingarkan kembali konsep kebaikan dan keburukan.

Pada bagian keempat, Mijil. Secara umum Mijil menjelaskan tentang proses manusia dalam mendekatkan diri pada Tuhan. Dalam bagian ini syair-syair tembang macapat Pepali Ki Ageng Selo lebih serius nuansa sufistik. Pupuh pertama lebih menekankan pada tingkatan level tasawuf dan ibadah manusia. Pupuh kedua, Ki Ageng Selo menjelaskan tarekat merupakan jalan untuk mengetahui Tuhan. Jalan tarekat ini bukanlah jalan yang mudah. Manusia yang menempuh jalan tarekat perlu usaha dan kerja keras untuk menghadapi godaan-godaan dalam setiap perjalanan spiritualnya.
 
Selanjutnya dalam pupuh ketiga mulai masuk pada level hakikat, pada level ini manusia mencoba untuk mengetahui Tuhan melalui sifat-sifatnya. Ki Ageng Selo menerangkan bahwa manusia tidak akan pernah mengetahui Tuhan dalam wujud yang terlihat dengan mata, tetapi dapat melihat melalui sifat-sifatnya. Setelah pennjelasan tentang hakekat, pupuh keempat dan kelima menjelaskan tentang ilmu makrifat, ilmu yang paling tinggi tingkatannya.
 
Menurut Ki Ageng Selo di level inilah manusia mengenal secara jelas tentang Tuhan baik dalam keadaan mata tertutup atau terbuka. Manusia yang sudah sampai pada level ini dalam setiap nafasnya mampu mengetahui dan merasakan kuasa Tuhan.
 
Pupuh keenam sampai kesepuluh menjelaskan tentang kedudukan keempat ilmu di atas dalam mengenal dan mendekatkan diri kepada Tuhan. Ki Ageng Selo mengingatkan ketika telah mampu melewati tingkatan-tingkatan tersebut, seseorang tidak boleh bersikap sombong dan angkuh, akan tetapi sebaliknya harus bersikap lebih hati-hati dalam menjalani kehidupan di dunia.Selanjutnya, pupuh sebelas sampai lima belas kembali Ki Ageng Selo menjelaskan manusia harus selalu berbuat baik tanpa mengharap imbalan. Segala kebaikan yang dikerjakan manusia harus dihaturkan kepada Tuhan itu sendiri. Sehingga dengan demikian Tuhan (Allah Swt) sendiri yang akan membahas perilaku manusia itu sendiri.
 
Bagian kelima, Maskumambang. Dalam Maskumambang dijelaskan tentang konsep hidup dan mati dalam tradisi Jawa. Pupuh pertama sampai enam menjelaskan bahwa manusia hidup di dunia ini tidak hanya sekali melainkan berkali-kali. Dalam bagian ini pula Ki Ageng Selo menegaskan kembali konsep sebab akibat. 

Pupuh ketujuh, Ki Ageng Selo menjelaskan tentang konsep baik dan buruk. Walaupun Tuhan Maha kuasa untuk melakukan apa pun, manusia tetap memiliki kehendak untuk melakukan kebaikan atau keburukan. Pupuh delapan sampai sepuluh Ki Ageng Selo kembali menerangkan konsep hidup dan mati. Dalam pupuh sebelas dan dua belas merupakan penjelasan dari Al-Qur’an Surat Al-Imran ayat 27 tentang rizeki Tuhan kepada semua makhluknya. Menurut Ki Ageng Selo rizeki manusia sudah diukur oleh Allah. Sehingga pembagiannya tidak akan pernah tertukar.
 
Bagian terakhir adalah Dhandanggula. Dalam Dhandanggula Ki Ageng Selo membahas tentang bagaimana seharusnya manusia hidup. Dalam pupuh pertama sampai dengan pupuh enam menjelaskan tentang bagaimana perilaku manusia yang seharusnya selalu berbuat baik. Dalam bagian ini Ki Ageng Selo mencontohkan kasab yang baik seperti berdagang. Menurutnya ketika orang berbuat baik maka dia tidak akan pernah rugi.

Pupuh ketujuh, Ki Ageng Selo mempertanyakan siapa sebenarnya manusia. Konsep siapa aku bagi Ki Ageng Selo sangat penting dipahami untuk menjelaskan siapa sebenarnya dirinya. Ajaran tentang hakikat diri ini akan menentukan relasi manusia dengan sesamanya serta relasinya dengan Tuhan. Pupuh kedelapan sampai enam belas berbicara tentang hakikat Tuhan dan pribadi Gusti Nabi Muhammad.
 
Pada Dandhanggula penutup Ki Ageng Selo membahas tentang keberadaan Tuhan secara mistis. Pembahasan ini berkaitan dengan pembahasan tentang hakikat diri manusia yang sejatinya adalah perwujudan dari diri tuhan itu sendiri.

Tentang hakikat Tuhan, Ki Ageng Selo menjelaskan bahwa akal manusia tidak mampu membuka tabir misteri Tuhan sendiri. Ki Ageng Selo mendeskripsikan Tuhan sebagai dzat yang maha kuasa dan tidak dapat dijelaskan dengan kata-kata. Kemampuan batin dan rasalah yang dapat membantu akal memahami Tuhan dengan sempurna.
 
Pupuh tujuh belas menjelaskan pernikahan dalam konteks tasawuf. Pernikahan bukanlah persatuan laki-laki dan perempuan semata. Akan tetapi hakikat nikah adalah suatu persatuan yang suci antara laki-laki dan perempuan. Sehingga dengan pernikahan inilah, manusia akan menjadikan alat untuk menambah kebaikan.
 
Pupuh kedelapanbelas sampai dengan dua puluh dua, menjelaskan tentang proses penciptaan alam dan jagat raya ini. Menurut Ki Ageng Selo, semesta alam ini berawal dari kesatuan yang kemudian terjadi perpecahan. Disinilah Ki Ageng Selo mulai membahas tentang makrifat.
 
Melalui penjelasan yang cukup panjang tentang syair-syair Pepali Ki Ageng Selo, Rima dalam penelitiannya mampu menafsirkan syair-syair Pepali Ki Ageng Selo menjadi suatu ajaran sufistik yang sangat kompleks.
 
 
Penulis: Ahmad Fairozi
Editor: Kendi Setiawan