Nasional

Melalui Halaqah Fiqih Peradaban, PBNU Ingin Kiai Pesantren Terlibat Selesaikan Problem Global

Jum, 9 September 2022 | 16:00 WIB

Melalui Halaqah Fiqih Peradaban, PBNU Ingin Kiai Pesantren Terlibat Selesaikan Problem Global

Halaqah Fiqih Peradaban ke-3, di Pondok Pesantren Asshiddiqiyah, Jakarta. (Foto: Rizki/TVNU)

Jakarta, NU Online
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) sedang berkeliling ke pesantren-pesantren menggelar Halaqah Fiqih Peradaban, selama lima bulan sejak Agustus 2022 hingga puncaknya pada Januari 2023 mendatang. Melalui gelaran halaqah ini, PBNU hendak melibatkan para kiai pesantren untuk terlibat dalam menyelesaikan problem global.

 

“Sebenarnya PBNU itu ingin menjadi mustafti, minta fatwa kepada kiai-kiai di daerah-daerah supaya ikut andil dan urun rembug, supaya gagasan-gagasannya bisa membantu PBNU dalam menyelesaikan persoalan dunia. Kenapa PBNU harus ke kiai-kiai? Karena tumpuan NU itu kiai,” ungkap Katib Syuriyah PBNU KH Sarmidi Husna Halaqah Fiqih Peradaban ke-3, di Pondok Pesantren Asshiddiqiyah, Jakarta, Rabu (7/9/2022).

 

Ia mengungkapkan bahwa saat ini, dunia Islam internasional sangat mengharapkan peran dan kontribusi NU untuk bisa memberikan solusi perdamaian atas konflik kemanusiaan yang berkepanjangan. Inilah tujuan PBNU menggelar Halaqah Fiqih Peradaban, yakni agar menggugah para kiai untuk mengetahui persoalan-persoalan global.

 

“Kami (PBNU) ini selain menggugah para kiai untuk ikut halaqah, juga barangkali ada gagasan-gagasan di daerah yang bisa diambil PBNU untuk membantu menyelesaikan persoalan yang ada di dunia. Dunia Islam sangat mengharapkan NU,” jelasnya.

 

Kiai Sarmidi mengungkapkan, sejak awal NU didirikan, para kiai memang selalu hadir ketika ada persoalan yang terjadi di masyarakat. Sebab dari sisi keagamaan, para kiai pesantren di lingkungan telah memilih jalur Islam yang wasathiyah atau moderat.

 

Ciri dari Islam wasathiyah, kata Kiai Sarmidi, terdapat dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 143. Ayat itu berbunyi, wa kadzalika ja’alnakum ummatan wasathan litakuunu syuhada-a ‘alannasi yang artinya ‘Kami telah menjadikan kamu (Umat Islam) umat pertengahan agar kamu menjadi saksi atas perbuatan manusia’.

 

“Jadi kalau orang itu benar-benar memegang Islam yang wasathiyah, dia akan hadir. Syuhada-a ‘alannas itu menjadi saksi. Saksi ini tidak mungkin kalau tidak hadir. Sudah jadi cirinya, kiai NU zaman dulu melihat ada persoalan di dunia Islam beliau hadir ingin ikut andil menyelesaikan persoalan yang ada di dunia Islam,” jelasnya.

 

Lebih lanjut, Kiai Sarmidi menjelaskan bahwa masalah-masalah keagamaan dunia mulai muncul pada saat Turki Utsmani runtuh pada tahun 1922, beberapa tahun sebelum NU didirikan. Sejak inilah, umat Islam kehilangan pegangan terkait fatwa keagamaan.

 

“Misalnya kalau kita menjadi amil zakat versi fiqih itu tidak sah kalau tidak diangkat oleh imam atau pemerintah. Nah ketika Turki Utsmani runtuh, siapa yang mengangkat amil? Belum dari sisi pernikahan, misalnya ada wali hakim, siapa yang mengangkat wali hakim? Waktu itu (setelah Turki Utsmani runtuh) kosong (tidak ada yang bisa berhak mengangkat),” jelas Kiai Sarmidi.

 

Kemudian runtuhnya Turki Utsmani itu disusul dengan kemunculan negara bangsa. Turkiye sendiri lantas mendeklarasikan diri sebagai negara bangsa, bukan lagi sebagai wilayah kekhalifahan. Menurut Kiai Sarmidi, inilah yang menjadi bagian dari masalah karena negara bangsa menjadi suatu hal baru dalam Islam.

 

“Ketika perubahan-perubahan terjadi, sebenarnya bukan hanya menuntut penyelesaian yang terkait keagamaan saja, tapi banyak hal seperti amil zakat dan wali hakim. Kemudian berkembang terkait kewarganegaraan,” ungkapnya.

 

Kiai Sarmidi menjelaskan, literatur fiqih yang saat ini dibaca belum berubah dari ratusan tahun lalu. Misalnya terkait status orang, ada yang Muslim dan ada beberapa kategori kafir seperti mu’ahad, harbi, dan dzimmi. Fiqih seperti itu masih dibaca sampai saat ini, padahal dunia berubah. Inilah yang oleh NU melalui Halaqah Fiqih Peradaban ingin dibaca ulang atau rekontekstualisasi.

 

Keputusan Munas NU di Banjar, pada 2019
Selain itu, ada persoalan tentang status negara bangsa dan status kewarganegaraan di dalam sebuah negara. Hal ini menurut Kiai Sarmidi, menjadi masalah jika dibaca dari aspek fiqih. Persoalan-persoalan itu kemudian dibahas di dalam forum Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama NU di Banjar, Jawa Barat, pada 2019 silam.

 

Di dalam forum yang dihadiri oleh para kiai pesantren se-Indonesia itu, terdapat tiga permasalahan yang dibahas yakni terkait status negara, status perundang-undangan yang dihasilkan negara, dan status kewarganegaraan.

 

Para kiai di Munas Alim Ulama itu menyampaikan bahwa negara bukanlah tujuan, tetapi sebagai washilah atau perantara untuk mencapai tujuan. Kiai Sarmidi menjelaskan, para kiai di forum tersebut bersepakat bahwa bentuk negara seperti apa saja tidak masalah, karena yang terpenting adalah menciptakan tatanan masyarakat yang adil dan makmur.

 

“Itu sesuai dengan tujuan Islam. (Karena membuat negara) ini bagian dari muamalah. Hukum asalnya boleh sampai ada dalil yang mengharamkannya. Jadi, tidak ada dalil kebolehan negara maka itu dalil dibolehkannya membentuk negara,” ungkap Kiai Sarmidi.

 

Kemudian soal perundang-undangan yang dibuat oleh negara. Para kiai pesantren dalam Munas NU di Banjar itu bersepakat menerima undang-undang hukum positif negara, selama tidak bertentangan dengan syariat Islam.

 

“Bahkan UU kita yang ada di Indonesia, kadang-kadang malah berkesesuaian dengan syariah. Kalau UU itu memang tidak bertentangan dengan syariah, kita dukung. Tapi kalau bertentangan, maka harus kita koreksi bersama-sama,” jelas Kiai Sarmidi.

 

Selanjutnya, soal status kewarganegaraan. Menurut Kiai Sarmidi, jika umat Islam dan khususnya warga NU sudah menyepakati negara bangsa, maka sebagaimana dituangkan dalam konstitusi negara UUD 1945, harus bersepakat pula bahwa semua warga negara itu berkedudukan sama dalam hal apa pun terkait kenegaraan.

 

Semua warga negara, tanpa terkecuali, harus mendapatkan pelayanan dan kesempatan. Bahkan mereka berhak dipilih dan memilih sebagai pemimpin di berbagai tingkat kepemimpinan di sebuah negara. Inilah yang menjadi dasar para kiai di Munas NU Banjar membahas persoalan status kewarganegaraan.

 

“Jadi kalau kita sudah menyepakati negara bangsa, konstitusi sudah disepakati, artinya kalau ada orang minoritas, kemudian mencalonkan sebagai kepala daerah, maka dibolehkan secara undang-undang karena dia memiliki hak yang sama untuk dipilih dan memilih,” ungkapnya.

 

Lebih lanjut dijelaskan, kewajiban umat Islam memilih pemimpin Muslim hanya berada pada ranah etik. Sementara dalam konteks negara bangsa, kategori kafir sebagaimana yang terdapat pada literatur fiqih klasik sudah tidak relevan lagi. Semua orang di Indonesia, sebagai negara bangsa, disebut sebagai warga negara atau muwathinun.

 

“Makanya PBNU memutuskan bahwa yang namanya Non-Muslim itu bukan kafir harbi, dzimmi, musta’an, mu’ahad, tapi juga warga negara Indonesia yang punya hak sama dengan Muslim lain,” pungkas Kiai Sarmidi.

 

Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Aiz Luthfi