Nasional

Melihat Kembali Pembahasan Kenaikan Harga BBM di Tahun 2004-2005

Rab, 31 Agustus 2022 | 12:30 WIB

Melihat Kembali Pembahasan Kenaikan Harga BBM di Tahun 2004-2005

Kenaikan harga BBM pernah terjadi pada tahun 2004-2005.

Jakarta, NU Online

Pro dan kontra terkait rencana kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) terus bermunculan, harga yang semula Rp7.650 per liter kini dikabarkan akan naik hingga Rp10.000 per liter. Hal tersebut dianggap mahal dan memberatkan masyarakat. Sejatinya kisruh mengenai harga BBM bukanlah hal yang baru.


Dalam Buku Menakar Subsidi BBM yang ditulis oleh Pusat Data dan Analisa Tempo (2021) oleh Penerbit TEMPO Publishing pada sub bab Jalan Panjang Kisruh Pembahasan Harga BBM. Mari kita lihat bagaimana kisruh pembahasan harga BBM.


Pada tanggal 30 November 2004, Wakil Presiden Jusuf Kalla memastikan pemerintah akan mencabut subsidi BBM karena harga minyak di pasar internasional melambung. Subsidi itu dianggap memberatkan APBN. Formulasi kompensasi kenaikan harga BBM dibahas.


Kemudian pada tanggal 1 Desember 2004, berbagai kalangan memprotes rencana kenaikan harga BBM. Mereka mengingatkan kebijakan pemerintah itu akan memberatkan masyarakat.


Selanjutnya di tanggal 3 Februari 2005, Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Sri Mulyani menyatakan pemerintah akan meminta persetujuan DPR sebelum menaikkan harga BBM.


Lalu di tanggal 17 Februari 2005, sejumlah menteri di bidang ekonomi menggelar rapat membahas kompensasi kenaikan harga BBM di gedung Bappenas.


Berikutnya di tanggal 22 Februari 2005, diadakan rapat konsultasi Menteri Keuangan dengan Komisi XI di DPR. Dalam rapat itu disepakati kenaikan harga BBM sebagai pilihan terakhir setelah dilakukan audit produksi BBM.


Pada tanggal 23 Februari 2005, diadakan rapat konsultasi Menteri Keuangan dengan Panitia Anggaran DPR. Sebagian besar anggota panitia anggaran menolak kebijakan kenaikan harga BBM karena pemerintah belum mengaudit Pertamina.


Kemudian pada tanggal 24 Februari 2005, diadakan rapat konsultasi Menteri Keuangan dengan Komisi VII DPR. Komisi VII keberatan dengan kebijakan menaikkan harga BBM karena pemerintah belum siap mengatasi dampaknya.


Pada tanggal 28 Februari 2005, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden No. 22 tahun 2005 tentang kenaikan harga BBM. Kenaikan tersebut mulai berlaku 1 Maret 2005, kebijakan itu menuai protes dan aksi demo di mana-mana.


Selanjutnya tanggal 1 Maret 2005, FPDIP, FPDS, dan FKB mendesak Ketua DPR Agung Laksono menggelar rapat paripurna soal BBM. Namun, Agung meminta sebaiknya usulan itu dibahas di rapat Badan Musyawarah.


Pada tanggal 3 Maret 2005, rapat Badan Musyawarah DPR gagal mengambil keputusan soal BBM. Usulan itu akhirnya dialihkan dalam rapat konsultasi pimpinan fraksi. Dalam rapat itu, FPDIP, FKB, dan FPDS meminta digelar rapat paripurna. FPP dan FPKS menolak Badan Musyawarah menjalankan paripurna dengan alasan prosedur, FPAN bersikap netral. Sebanyak 31 anggota DPR dari fraksi (FPDIP, FKB, FPDS, FPAN, FPBR, FPPP, FBPD) mengajukan hak angket BBM, mereka menolak kenaikan harga BBM.


Sementara itu tanggal 7 Maret 2005, rapat konsultasi pimpinan DPR, fraksi, dan komisi akhirnya mengalami deadlock. FPDIP, FKB, FPBR, FPDS, dan FPAN menginginkan soal BBM dibawa ke paripurna. FPG, FPD, dan FBPD keberatan soal BBM dibawa ke paripurna. FPKS mengusulkan soal BBM dibawa ke rapat konsultasi dengan Presiden. FPP dalam soal ini menolak masalah itu dibawa ke paripurna dan konsultasi.


Pada tanggal 12 Maret 2005, diadakan rapat konsultasi pimpinan DPR, fraksi dan komisi. Hasilnya, soal BBM disampaikan ke rapat konsultasi DPR dengan Presiden SBY pada Senin (14/3) dan rapat paripurna pada Selasa (15/3).


Lalu di tanggal 15 Maret 2005, lima fraksi di DPR (FPDIP, FKB, FPDS, FPAN, FPBR) meminta presiden membatalkan kenaikan harga BBM.


Kemudian pada tanggal 14 Maret 2005, DPR menggelar rapat konsultasi dengan Presiden SBY. Dalam rapat itu, FPDIP, FKB, FPDS, FPKS menolak kenaikan harga BBM. FPG, FPD, FBPD memahami pemerintah. FPAN, FPBR, FPPP tidak tegas. FPDIP walk out karena rapat dilakukan tertutup. Presiden SBY menyatakan tidak akan menurunkan harga BBM. Lima anggota DPR dari FPAN mengajukan uji materiil peraturan presiden soal BBM ke Mahkamah Konstitusi.


15 Maret 2005, DPR menggelar rapat paripurna. Dalam rapat itu, lima fraksi (FPDIP, FKB, FPDS, FPAN, FPKS) meminta peraturan presiden tentang BBM dicabut. FBR minta hal itu ditinjau ulang, FPD dan FBPD memahami. FPG dan FPPP minta dibicarakan lagi dalam Panitia Anggaran. Karena alot, rapat menemui jalan buntu.


Pada tanggal 16 Maret 2005, lobi pimpinan fraksi menemui jalan buntu. Dalam lobi itu, tiga fraksi yaitu FPDIP, FKB, dan FPDS menginginkan rapat paripurna melakukan voting dengan opsi setuju atau tidak setuju dengan kenaikan harga BBM. Adapun tujuh fraksi yaitu FPD, FPG, FPKS, FBPD, FPPP, FPAN, FBR menginginkan agar paripurna melakukan voting dengan opsi dikembalikan ke Komisi VII, Komisi XI, Panitia Anggaran, atau paripurna mengambil sikap soal BBM. Rapat berlangsung panas, hujan interupsi dan saling provokasi terjadi, adu jotos nyaris terjadi, dan rapat pun diskors.


Kemudian pada tanggal 17 Maret 2005, meski berlangsung alot, rapat pimpinan fraksi memutuskan akan menunda pembahasan BBM hingga Senin 21 Maret mendatang. Namun, saat kesepakatan itu dibawa ke rapat, hujan interupsi tidak bisa dielakkan. Puncaknya seluruh anggota FKB walkout dari ruangan sidang.


Selanjutnya pada tanggal 18 Maret 2005, FPDIP melaporkan Ketua DPR Agung Laksono ke Badan Kehormatan DPR karena dianggap melanggar kode etik. Surat itu dianggap sebagai mosi tidak percaya FPDIP kepada Agung. Sejumlah fraksi menggelar rapat intern membahas langkah mereka pada rapat paripurna tanggal 21 Maret. Salah satu opsi yang dibicarakan adalah opsi terbaik mereka untuk voting, menerima atau menolak kenaikan harga BBM. Juga soal lemahnya kepemimpinan DPR dalam menyelesaikan konflik.


Ketua Umum Partai Golkar yang juga Wakil Presiden, Jusuf Kalla mengumpulkan anggota Fraksi Partai Golkar di DPP Golkar. Mereka diminta untuk mengamankan keputusan pemerintah. Rencana Presiden SBY mengundang pimpinan fraksi di istana malam harinya dibatalkan.


Pembahasan mengenai kenaikan harga BBM berjalan panjang, dan tidak kunjung juga menemui titik temu, serta berjalan dengan alot. Mufakat akhirnya dicapai pada tanggal 28 September 2005 antara Panitia Anggaran DPR dengan pemerintah soal kenaikan harga BBM setelah adanya lobi-lobi fraksi di Panitia Anggaran DPR. Mayoritas Fraksi di Panitia Anggaran DPR menyetujui opsi pemangkasan subsidi bahan bakar minyak. Subsidi tidak lagi RP 101, 5 Triliun seperti yang diusulkan oleh Pemerintah, tetapi tinggal 89,2 Triliun. Maka konsekuensinya, harga BBM harus naik. Sehingga per 1 Oktober 2005 harga BBM dipastikan naik.


Kontributor: Malik Ibnu Zaman
Editor: Syakir NF