Nasional RISET DIKTIS

Memahami Nuansa Fiqih Transformatif

Rab, 23 Oktober 2019 | 05:00 WIB

Fiqih adalah bagian tak terpisahkan dari peradaban masyarakat muslim seluruh dunia, tak terkecualikan juga masyarakat muslim di Nusantara. Nuansa fiqih memiliki peranan penting dalam membentuk tatasrn masyarakat yang taat hukum, baik secara vertikal (hubungannya dengan Allah Swt), dan sekaligus secara horizontal (hubungan sesama, manusia). Sehingga dengan nuansa fiqih inilah manusia bisa hidup damai berdampingan tanpa ada konflik dan benturan kepentingan antar sesama.

Namun demikian, nuansa fiqih memiliki peranan  yang fundamental di tengah-tengah masyarakat. Dewasa ini, fiqih cenderung mendapat penilaian kurang baik dari masyarakat muslim itu sendiri. Itu sebabnya, nuansa fiqih hanya berbicara hukum-hukum formal yang kurang bersinggungan  dengan  sisi-sisi kehidupan manusia secara rigit komprehensif.
 
Bahkan, Ali Syariati pernah menuturkan bahwa fiqih mestinya dapat menjawab segala bentuk persinggungan manusia dengan sesamanya dalam segala hal. Termasuk di antara beberapa hal yang menjadi konsentrasi fiqih hari ini ini adalah persoalan siyasah (politik), al-ijtima wal adabi (sosial kemasyarkatan dan peradaban) bahkan hingga perihal muzaraah (cocok tanam).
 
Berdasarkan koreksi tersebut, para cendekiawan Muslim menyadari perlunya transformasi fiqih dari yang sifatnya formalistik-tekstual menjadi fiqih yang menyentuh segala bentuk kehidupan masyarakat, sebagaimana yang telah penulis sebutkan sebelumnya.
 
Untuk mendasari ini semua, Muhyar Fanani, Nur Hasyim, dan Endang Supriadi dalam penelitian yang dilakukan berkat dukungan bantuan Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam (Dit PTKI) Direktorat Jenderal Pendidikan Islam (Ditjen Pendis) Kementerian Agama RI tahun anggaran 2018 yang berjudul Implementasi Fiqih Transformatif pada Komunitas Petani mengartikan fiqih transformatif adalah fiqih yang dibangun dari paradigma kritis-emansipatoris. Bukan fiqih yang dibangun atas dasar polapikir formalistik-tekstual maupun paradigma sosial-kontekstual.
 
Di kalangan masyarakat perdesaan Indonesia yang mayoritas mengikuti tradisi NU, secara umum memiliki tiga bentuk pola pandang fikhiyah. Pertama, paradigma formalistik-tekstual yang dipelopori oleh KH Zainal Abidin Krapyak, KH Masduqi Mahfudh Malang, dan KH Sadid Jauhari Jember. Paradigma fiqih ini menyangkut prihal hukum-hukum qot’i yang memang semestinya mengikuti landasan teks Al-Qur’an dan hadis sebagai pijakan utamanya.
 
Kedua, adalah paradigma sosial-kontekstual yang dimotori KH Sahal Mahfudh. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Muhyar Fanani, Nur Hasyim, dan Endang Supriadi disebutkan bahwa paradigma fiqih ini dikenal dengan paradigma fiqih sosial. Dalam kinerjanya, pola pandang fiqih model ini memiliki lima metode, yakni kontekstualisasi doktrin fiqih, beralih dari mazhab qauli ke manhaji, verifikasi doktrin ashal dan yang furu’, menghadirkan fiqih sebagai etika sosial, dan mengenalkan pemikiran filosofis terutama masalah sosial-budaya.

Paradigma fiqih ketiga adalah paradigma kritis yang dimotori oleh Muhammad Syahrur (Syria). Tokoh utamanya di Indonesia adalah Masdar F Mas’udi. Menut peneliti paradigma fiqih model ini dikenal dengan paradigma progresif-revolusioner. Bagi beberapa cendekiawan Muslim, paradigma kritis dalam fiqih merupakan paradigma yang paling tidak populer dibanding dengan dua paradigma lainnya. Sangat sedikit ahli fiqih yang memberi perhatian terhadap jenis fiqih ini.
 
Namun demikian, Masdar F Mas’udi memberikan empat cara kerja paradigma ini. Pertama, menangkap sistem nilai Al-Qur’an dan Sunah. Kedua, revitalisasi maqashid syariah yang terdiri dari adh-dharuratul khamsah (menjaga agama, jiwa, akal, kehormatan, dan harta). Ketiga, revitalisasi cara berpikir rasional kritis terhadap realitas material non-hegemonik. Para pemikir fiqih ini mengadopsi cara berpikir kritis yang muncul di Jerman pada tahun 1923 melalui para pemikir sosial yang tergabung dalam mazhhab Frankfurt seperti Max Horkheimer, Theodor Adorno (1903-1969), Herbert Marcuse (1898-1979), Walter Benjamin (1892-1940, dan Jurgen Habermas (1929-2009). Cara berpikir ini kemudian populer sejak 1980-an hingga 1990-an karena kemampuannya untuk melihat realitas sosial secara lebih objektif.
 
Dalam perkembangannya cara berpikir ini menyadarkan pentingnya afirmasi pada mereka yang terpinggirkan. Afirmasi ini sesungguhnya sudah diingatkan oleh Trent Schroyer, Sosiolog Amerika (1936-2018) sejak tahun 1970-an. Melalui karyanya, ia mengingatkan bahwa masyarakat modern termasuk petani harus dibebaskan dari dominasi yang membelenggu mereka. Berangkat dari filosofi yang partisipatoris itu, maka penelitian ini menekankan adanya agenda aksi demi reformasi dan perubahan, pemberdayaan, dan diskusi politis untuk perubahan.
 
Cara kerja paradigma keempat menurut Masdar adalah revitalisasi visi transformatif atau komitmen pada perubahan struktur (relasi-kuasa dalam dunia produksi (majikan-buruh), relasi hegemoni narasi (ulama-umat), relasi (penguasa-rakyat).
 
Penggunaan cara berpikir kritis partisipatoris ini dengan sendirinya akan mengantarkan masyarakat untuk menumbuhkan visi transformatif. Sebab, cara pandang ini yang menekankan pada pemikiran kritis secara sepontan akan memberi sifat reflektif bagi manusia atas seluruh keadaan yang melingkupinya. Dengan pola pandang ini pula manusia dapat menimbang fakta sosial secara mendalam hingga menemukan belenggu-belenggu dalam realitas masyarakat. Refleksi itu melahirkan keinginan untuk merubah keadaan.
 
Pola pikir yang ketiga ini oleh Muhyar Fanani, Nur Hasyim, dan Endang Supriadi dalam penelitian tahun 2018 dengan dukungan Diktis Kemenag, disebutkan sebagai fiqih transformatif. Suatu pendakatan fiqih yang didasarkan atas kesadaran pikir ktiris transformatif menyikapi segala bentuk keadaan sosial di tengah-tengah masyarakat. Sehingga dengan demikian tercipta kehidupan masyarakat (peradaban) Muslim yang selalu tersolusikan oleh dengan pendekatan-pendekatan agama.
 
Penulis: Miatul Qudsia
Editor: Kendi Setiawan