Nasional

Menagih Janji Taliban atas Hak Perempuan di Ruang Publik

Sen, 13 September 2021 | 04:00 WIB

Menagih Janji Taliban atas Hak Perempuan di Ruang Publik

Menagih Janji Taliban atas Hak Perempuan di Ruang Publik.

Jakarta, NU Online
Hak-hak perempuan di Afghanistan akan dihormati "dalam kerangka hukum syariat", demikian dipaparkan juru bicara Taliban, Zabihullah Mujahid, pada Selasa (17/08) lalu. Dalam jumpa pers pertama sejak Taliban menguasai ibu kota Afghanistan, Mujahid menegaskan "perempuan akan diberikan hak-hak di lapangan kerja maupun kegiatan-kegiatan lain”.
 
Janji Taliban itu mendapat beragam respons masyarakat dunia dan para ahli, termasuk Wakil Rais Syuriyah Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Amerika Serikat, Etin Anwar, yang memandang pesimis janji Taliban akan membentuk pemerintahan Islami yang inklusif, melindungi hak perempuan dan kebebasan pers, serta menjadi lebih moderat.
 
“Saya tidak optimis Negara Afghanistan yang baru terbentuk ini akan menjadikan perempuan sebagai pihak yang diberikan haknya secara penuh,” katanya pada acara Rekonfigurasi Peran NU di Afghanistan: Advokasi Moderasi dan Perempuan di Era Baru Taliban, Sabtu (11/9) malam.
 
Diterangkan, sejak Taliban menggulingkan pemerintahan Presiden Ashraf Ghani dan mengklaim berkuasa lagi pada 15 Agustus, banyak perempuan Afghanistan merasa takut kehidupan dan masa depan mereka akan terkekang lagi seperti saat kelompok itu memerintah 25 tahun lalu.
 
Pada 1996-2001, Taliban menerapkan berbagai macam aturan yang sangat membatasi wanita dengan dalih menuruti syariat Islam. “Itu karena para perempuan dianggap menyalahi kode moral yang didefinisikan oleh Taliban,” terang peneliti yang pernah melakukan riset tentang Contesting Islamic Violence: The Political Theology of Resistence itu.
 
Beberapa alasan lain melatarbelakangi rasa pesimistis Etin. Salah satunya pendominasian pemimpin laki-laki pada struktur kabinet Taliban baru yang banyak diisi para headliners (garis keras). 
 
“Walaupun ada janji dari juru bicara Taliban bahwa perempuan akan diberikan hak-haknya, tetapi dalam sejarahnya perlakuan Taliban kepada perempuan di Afghanistan, terutama pada 1996-2001 itu sangat menakutkan. Itu yang membuat saya pesimis,” turut Feminisme Islam asal Tasikmalaya, Jawa Barat itu.
 
Terbaru, kata dia, salah satu reporter mengaku dipecat usai melakukan interviu kepada pemerintah Afghanistan, bahkan Taliban mengumumkan bahwa semua perempuan yang bekerja di stasiun televisi harus berhenti. Hal itu, sangat bertolak belakang dengan propaganda Taliban yang terus menampilkan wajah lebih moderat dan merangkul perempuan setelah mengambil alih istana kepresidenan pada Ahad (15/8) lalu.
 
“Jadi orang yang awalnya diberikan kesempatan, kemudian diberhentikan sesudahnya,” kata perempuan yang aktif pada Associate Professor di Hobart and William Smith Colleges, New York, USA itu.
 
Pemberhentian tersebut juga berlangsung diberbagai sektor publik lain, di antaranya sektor ekonomi, hukum dan politik. Alasannya, tambah Etin, karena menurut interpretasi Taliban Perempuan harus keluar bersama pendamping laki-lakinya.
 
“Karenanya, saya pesimis mengenai hak-hak Perempuan untuk kembali mendapatkan posisi di ruang publik,” imbuh dia.
 
Melansir New York Times, Direktur urusan hak perempuan Human Rights Watch, Heather Barr, mengatakan bahwa Taliban juga menggunakan alasan serupa saat pertama kali berkuasa di Afghanistan pada 1996-2001.
 
"Penjelasannya adalah keamanannya belum baik, dan mereka menunggu sampai keamanan lebih baik, baru kemudian perempuan mendapatkan kebebasan," ujar Barr.
 
Namun, tentu saja selama mereka berkuasa saat itu, momen itu tak pernah terwujud, dan saya bisa menjamin perempuan Afghanistan yang mendengar (janji) itu sekarang juga berpikir semua tak akan terwujud juga kali ini," imbuhnya.
 
Kontributor: Syifa Arrahmah
Editor: Syamsul Arifin