Nasional DARI REDAKSI

Menelusuri Penyelenggaraan Muktamar dari Era Kolonial hingga Milenial

Sen, 20 Desember 2021 | 17:00 WIB

Menelusuri Penyelenggaraan Muktamar dari Era Kolonial hingga Milenial

Sampul buku 'Fragmen-Fragmen Muktamar dari Era Kolonial hingga Milenial' yang diterbitkan NU Online.

Menjelang penyelenggaraan Muktamar Ke-34 NU di Lampung pada 22-24 Desember 2021, menarik untuk menelisik penyelenggaraan beberapa muktamar yang sudah berlangsung selama 33 kali. Buku berjudul Fragmen-Fragmen Muktamar dari Era Kolonial hingga Milenial memberi wawasan tambahan.
 
Muktamar merupakan pertemuan organisasi paling akbar di lingkungan Nahdlatul Ulama. Ribuan orang peserta dari pengurus wilayah dan pengurus cabang berdatangan. Dan lebih banyak lagi, para muhibbin atau pecinta NU beramai-ramai menghadiri muktamar. Muktamar bukan hanya agenda organisasi untuk membahas masalah agama atau program, tetapi juga aktivitas warga NU.
 
Di luar agenda resmi, terdapat acara-acara pendukung seperti bazar, konser musik, pengajian, pameran, seminar, temu alumni pesantren, dan lainnya yang diselenggarakan oleh aktivis NU maupun warga NU. Semuanya bergembira ria.
 
Muktamar secara rutin diagendakan selama lima tahun sekali, namun pada masa awal-awal NU berdiri, muktamar pertama sampai ketujuh diselenggarakan setiap tahun pada bulan Rabiuts Tsani. Ada periode ketika agenda muktamar diselenggarakan dengan waktu yang tidak teratur, khususnya pada saat kedatangan Jepang hingga awal kemerdekaan. Muktamar diselenggarakan ketika ada kebutuhan. Sejak 1979, ketika Indonesia semakin stabil, penyelenggaraan muktamar semakin tertata dengan periodisasi lima tahunan.
 
Pada masa lalu, untuk menyelenggarakan muktamar dibutuhkan perjuangan yang berat mengingat kondisi infrastruktur dan teknologi yang masih sangat sederhana dibandingkan dengan saat ini. Namun, hal tersebut tidak mengurangi kemeriahannya. Masyarakat di setiap tempat penyelenggaraan muktamar tersebut menyambutnya dengan riang gembira. Mereka bahu-membahu membantu penyelenggaraan acara ini supaya sukses. Sumbangan diberikan dalam bentuk uang, beras, ayam, ikan, dan kebutuhan lainnya. Pekerjaan dilakukan secara gotong-royong. Hal ini dilandasi semangat untuk menyambut para ulama yang sangat dihormati.
 
Muktamar juga tidak sepenuhnya berjalan dengan lancar, ada banyak faktor, baik karena faktor internal maupun eksternal yang menjadi penyebabnya. Sempat ada kubu Cipete dan Situbondo menjelang Muktamar Ke-27 NU di Situbondo Jatim tahun 1984. Namun, pasca muktamar, semuanya bersatu kembali. 


Sementara itu, pada muktamar di Cipasung 1994, terjadi tekanan kuat dari pemerintah yang ingin mengendalikan NU dengan berusaha menjatuhkan Gus Dur dan menggantinya dengan calon lain yang dianggapnya bisa dikendalikan. Tentara, intel, dan panser dikerahkan. Namun, upaya intervensi tersebut gagal. Muktamar Cipasung ini selalu dikenang oleh para aktivis NU, dan dituturkan dari generasi ke generasi sebagai bentuk intervensi pemerintah terhadap NU.
 
Dengan membaca fragmen ini, kita dapat memperoleh gambaran sedikit lebih utuh perjalanan muktamar-muktamar NU dan merasakan suasana batinnya. Ada banyak peristiwa yang selalu berulang, hanya beda pelaku dan waktunya saja. Dengan demikian, hal tersebut dapat menjadi pelajaran supaya penyelenggaraannya lebih baik di masa mendatang.
 
Tulisan ini sebagian besar berasal dari kanal fragmen NU Online yang membahas muktamar. Inisiatif untuk melakukan kompilasi dalam bentuk buku dimaksudkan supaya materi ini lebih mudah diakses dalam bentuk pdf untuk dibaca di tablet atau e-reader. Siapapun juga dapat mencetak materi ini sejauh tidak digunakan untuk kepentingan komersial.
 
Para penulis sebagian besar merupakan wartawan atau kontributor NU Online, beberapa tulisan dikirimkan oleh para aktivis NU yang menjadi penulis. Kontribusi yang diberikan telah membuat kita memahami perjalanan NU, khususnya dari penyelenggaraan muktamar.
 
Buku ini dapat diunduh dengan klik tautan ini.

 

(Achmad Mukafi Niam)