Nasional

Mengapa ⁠Siklus Kekerasan Aparat di Papua Tak Pernah Berhenti?

Rab, 27 Maret 2024 | 16:30 WIB

Mengapa ⁠Siklus Kekerasan Aparat di Papua Tak Pernah Berhenti?

Video penganiayaan Warinus Murib oleh sejumlah oknum TNI di Kabupaten Puncak, Papua Tengah. (Foto: tangkapan layar video viral di medsos)

Jakarta, NU Online 

Siklus kekerasan oleh aparat di Papua terus berlanjut tanpa henti. Baru-baru ini, sejumlah oknum prajurit TNI dilaporkan menganiaya warga Papua Warinus Murib (bukan Delfianus Kogoya-red), yang juga anggota Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB). Warinus dimasukkan di dalam drum berisi air dalam kondisi tangan terikat ke belakang. Lantas, mengapa ⁠siklus kekerasan aparat di Papua tak pernah berhenti?


Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Ahmad Suaedy mengatakan banyak faktor menjadi penyebab kekerasan di Papua. Lemahnya saling percaya antara masyarakat Papua dan pemerintah pusat, kata Suaedy, menjadi sebab yang belum dapat dipulihkan. 


“Pendekatan pemerintah yang seringkali kurang mempertimbangkan tradisi dan adat kultural masyarakat Papua dengan lebih mementingkan pendekatan politik, birokrasi, dan keamanan menjadikan sulitnya terbangun saling percaya,” kata Suaedy kepada NU Online, Rabu (27/3/2024).


Pemerintah, kata Suaedy, perlu mengembangkan komunikasi yang tulus kepada masyarakat Papua termasuk kepada KBB. "Yang dibutuhkan saat ini adalah membangun saling percaya atau trust building antara warga Papua dan pemerintah," jelas penulis buku Gus Dur, Islam Nusantara & Kewarganegaraan Bineka: Penyelesaian Konflik Aceh & Papua, 1999-2001 itu.


Faktor berikutnya yang menjadi aspirasi sebagian besar masyarakat Papua adalah hadirnya militer non-organik yang mencolok dan cenderung berlebihan. 


Pemerintah, kata Suaedy, sebaiknya membuat semacam road map menuju penarikan militer non-organik dengan memerankan fungsi masyarakat sipil yang sehat dan respek terhadap pemerintah. 


"Pada saat tertentu dalam road map itu, maka Papua harus bebas dari militer non-organik sehingga meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah," tukas Dosen Pascasarjana Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) itu.


Peneliti Papua Amiruddin Al Rahab menjelaskan faktor utama terjadinya kekerasan yang terus berulang akibat pembiaran dan tanpa koreksi yang terstruktur atas peristiwa-peristiwa kekerasan seperti yang dialami Warinus Murib, anggota KKB tersebut. 


"Maka norma HAM adalah ditujukan untuk mengoreksi dan mencegah perilaku brutal begitu. Sayangnya norma HAM itu selalu dikesampingkan," kata Wakil Ketua Komnas HAM periode 2017-2022 itu.


Atas peristiwa tersebut, Amir mendesak Presiden Joko Widodo segera memerintahkan Menkopolhukam untuk membentuk Tim Investigasi Gabungan guna menyelidiki kasus penganiayaan itu. 


"Hasil tim investigasi harus ditindaklajuti ke proses penegakan hukum terhadap semua pelaku dan pimpinan satuannya," tutur Amir.


Selain itu, ia menyarankan agar Komnas HAM diberi ruang berperan aktif dalam menangani kasus kekerasan yang dialami warga Papua tersebut. 


"Beri ruang Komnas HAM untuk masuk berperan, agar ada kebenaran pembanding bagi kerja Tim Menkopolhukam," tandasnya.


Langgengnya budaya impunitas

Akademisi asal Papua Ligia Judith Giay menilai peristiwa kekerasan terjadi tak lepas dari budaya impunitas yang langgeng dipelihara bangsa Indonesia. Budaya impunitas adalah ketika orang-orang yang menolak hak kebebasan berekspresi orang lain dapat melakukan hal. 


"Kemarin ketika video itu mulai beredar, reaksi resmi pertama kan bilang bahwa itu dipalsukan. Video itu sendiri tidak dianggap serius, baru diseriusi ketika ada lebih banyak tekanan. Hal seperti ini juga makin membuat jengkel lagi," kata Ligia.


Ligia mendorong pemerintah usut tuntas kasus dan menghentikan budaya impunitas untuk memutus rantai kekerasan ini. "Tak tahu training seperti apa yang perlu dilakukan, yang jelas budaya impunitas harus dihentikan," jelasnya.


Menurut Ligia, pembangunan sebagai jalan mengurangi rasisme yang dilakukan pemerintah tidak akan bisa mengakhiri rasisme terhadap orang Papua. Sebab yang punya masalah rasisme bukanlah orang Papua, tapi Indonesia.


"Ada banyak alasan kenapa saya berpendapat begini, tapi kalau sehubungan dengan kasus ini saya hanya mau orang menjelaskan kepada saya: bagaimana pembangunan bisa mencegah kekerasan di tangan aparat?" tandas peneliti pascadoktoral di Institute for History, Leiden University itu.


TNI benarkan terjadi kekerasan

Sebelumnya, Komando Daerah Militer XVII/Cenderawasih mengakui kebenaran video prajurit TNI yang diduga menganiaya warga di Papua. Hal ini dipastikan setelah TNI melakukan investigasi terkait kasus ini. Para prajurit itu kini ditahan di kesatuannya.


Kepala Penerangan Kodam XVII/Cenderawasih Letnan Kolonel (Inf) Candra Kurniawan menyatakan, para prajurit dalam video tersebut berasal dari Yonif Raider 300/Braja Wijaya, bagian dari Kodam III/Siliwangi


Dia menyebut, hingga kini, 8 anggota TNI Yonif 300/Bjw yang diduga melakukan penganiayaan telah ditahan oleh Pomdam III/Siliwangi untuk diproses hukum.


"Dari hasil identifikasi video tersebut, terbukti bahwa para prajurit TNI melakukan aksi kekerasan," kata Candra seperti dikutip dari Kompas.id.


Sebelumnya, beredar peristiwa penganiayaan yang memperlihatkan lima orang pria tampak mengelilingi sebuah tong. Seorang pria Papua dengan tangan terikat di belakang tampak direndam dengan air sedada dalam drum itu. Mereka memukul, menendang, dan melukai dengan senjata tajam diiringi makian kepada korban. Belakangan diketahui, peristiwa itu terjadi di Kabupaten Puncak, Papua Tengah.