Nasional

Mengucapkan Selamat, Memakai Atribut, dan Menerima Hadiah Natal

Sab, 24 Desember 2022 | 18:35 WIB

Mengucapkan Selamat, Memakai Atribut, dan Menerima Hadiah Natal

(Foto: Ilustrasi/freepik)

Jakarta, NU Online
Setiap tanggal 25 Desember, umat Kristiani memperingati Hari Natal. Menjelang peringatan tersebut, sering diperdebatkan kembali khususnya di media sosial tentang hukum mengucapkan selamat Natal. Selain itu, ramai juga dibahas terkait hukum memakai atribut Natal, termasuk apakah diperbolehkan umat Islam menerima hadiah Natal dari umat Kristiani.


Dalam artikel NU Online Ragam Pendapat Ulama soal Mengucapkan Selamat disebutkan bahwa tidak ada ayat Al-Qur'an dan hadits Nabi yang secara jelas dan tegas menerangkan keharaman atau kebolehan mengucapkan selamat Natal. Padahal, kondisi sosial saat Nabi Muhammad saw hidup mengharuskannya mengeluarkan fatwa tentang hukum ucapan tersebut, mengingat Nabi dan para Sahabat hidup berdampingan dengan orang Yahudi dan Nasrani (Kristiani). 


Dengan fakta ini, maka masalah ini masuk dalam kategori permasalahan ijtihadi yakni permasalahan yang masih diperdebatkan. Para ulama yang membolehkan dan mengharamkan sama-sama hanya berpegangan pada generalitas (keumuman) ayat atau hadits yang mereka sinyalir terkait dengan hukum permasalahan ini. 


Di antara ulama yang mengharamkan mengucapkan selamat Natal adalah Syekh Bin Baz, Syekh Ibnu Utsaimin, Syekh Ibrahim bin Ja’far, Syekh Ja’far At-Thalhawi. Sementara ulama yang memperbolehkan di antaranya Syekh Yusuf Qaradhawi, Syekh Ali Jum’ah, Syekh Musthafa Zarqa, Syekh Nasr Farid Washil, Syekh Abdullah bin Bayyah, Syekh Ishom Talimah, Majelis Fatwa Eropa, dan Majelis Fatwa Mesir.


Dengan perbedaan ini umat Islam diberi keleluasaan untuk memilih pendapat yang benar menurut keyakinannya. Maka, perbedaan semacam ini tidak boleh menjadi konflik dan menimbulkan perpecahan.


Lalu bagaimana hukumnya memakai atribut Natal. Apakah memakai atribut Natal termasuk dalam kategori toleransi yang masih dibenarkan oleh syara’, atau justru merupakan wujud toleransi yang berlebihan?


Dalam artikel NU Online Hukum Memakai Atribut Natal disebutkan bahwa seorang Muslim yang memakai atribut Natal dapat dipastikan ia menyerupai orang non-Muslim dalam hal busana yang menjadi identitas mereka. 


Meski hal ini diatasnamakan toleransi atau simpati terhadap hari raya mereka, namun jika diekspresikan dengan cara demikian maka hal tersebut tidak diperbolehkan dalam syara’. Sebab, berbusana dengan memakai atribut Natal sudah berada di luar ranah toleransi, sebab hal ini menjadi bagian dari larangan tasyabbuh bi al-kuffar (menyerupai non-Muslim) yang diharamkan oleh syara’.


Namun, bagaimana jika ada seorang karyawan yang diharuskan memakai atribut Natal oleh atasannya? Dalam masalah ini, karyawan tetap tidak diperkenankan untuk mematuhi kebijakan dari atasannya. Sampai pun muncul adanya ancaman, tidak sampai menjadikan pemakaian atribut Natal menjadi hal yang dilegalkan oleh syara’. 


Terkait dengan hukum menerima hadiah Natal dari non-Muslim, dalam kanal Bahtsul Masail NU Online Hukum Menerima Natal dijelaskan bahwa Al-Qur’an tidak melarang umat Islam untuk bergaul dengan kalangan non-Muslim. Selain itu, Al-Qur’an juga tidak melarang umat Islam menerima hadiah dari kalangan non-Muslim. 


Dalam sebuah hadits riwayat Imam Bukhari juga menyebutkan bahwa Rasulullah pernah menerima hadiah dari non-Muslim berupa keledai baydha dari Raja Ilah dan jubah sutra dari Ukaidir Dumah yang beragama Kristen. Sehingga hal ini bisa menjawab perdebatan tentang penerimaan hadiah oleh seorang Muslim dari non-Muslim.


Pewarta: Muhammad Faizin
Editor: Kendi Setiawan