Nasional

Menilik Childfree dari 2 Sudut Pandang Berbeda

Kam, 23 Februari 2023 | 19:30 WIB

Menilik Childfree dari 2 Sudut Pandang Berbeda

Childfree merupakan keputusan seseorang atau pasangan untuk tidak memiliki anak atau keturunan. (Foto ilustrasi: NU Online/Freepik)

Jakarta, NU Online

Childfree merupakan keputusan seseorang atau pasangan untuk tidak memiliki anak atau keturunan. Tentunya keputusan ini diambil secara sadar dan tanpa paksaan orang lain, termasuk pasangan itu sendiri.


Wanita yang memilih untuk tidak mempunyai seorang anak atau childfree, masih dianggap tabu oleh masyarakat Indonesia. Hal itu pada akhirnya melahirkan asumsi bahwa memilih childfree di Indonesia tidaklah mudah.


Salah satu responden NU Online, Aiman (bukan nama sebenarnya) beranggapan bahwa konstruksi budaya masyarakat Indonesia menganggap kehadiran anak menjadi simbol keluarga yang harmonis, sehingga anak menjadi nilai, norma, dan aturan sosial yang berlaku bagi pasangan yang sudah terikat dalam pernikahan.


Hal itu tentu berlawanan dengan pilihannya untuk childfree dengan alasan untuk mengurangi eksploitasi dan pencemaran lingkungan atas nama kehidupan manusia. Ini merupakan salah satu argumen populer dalam gerakan childfree.


“Jelas sebagai manusia saya berpikir melihat kondisi sekitar saja, dulu kalau saya naik genteng ke rumah itu atau naik kubah mesjid saya masih bisa melihat sawah, sekarang nggak bisa karena banyak rumah, jalan-jalan semakin macet,” ujar Aiman kepada NU Online, beberapa waktu lalu.


Menurutnya, semakin banyak manusia, maka semakin banyak karbon CO2 yang dikeluarkan, sehingga akan memperburuk perubahan iklim. “Kita tahu bahwa dari berbagai aspek krisis yang terjadi di dunia ini dasarnya itu manusia,” ucapnya.


Jika umumnya masyarakat memandang anak sebagai sumber kebahagiaan dan kehangatan rumah tangga, maka anak bagi Aiman cenderung dipandang sebagai pemicu kecemasan dan ketakutan.


“Punya anak itu baik, bisa membahagiakan. Tapi mencegah kerusakan bukannya harus didahulukan. Sebagaimana kaidah ushul fiqh: Dar'ul mafaasid muqaddamun alaa jalbil mashaalih,” terangnya.


Intinya, tambah dia. memiliki anak atau tidak adalah sebuah pilihan. Setiap manusia pun berhak untuk memilih apa yang terbaik untuk hidupnya. “Maka, sudah seharusnya kita menghargai pilihan sesama manusia,” imbuh Aiman.


Childfree dari sisi psikologi

Jika dilihat dari sisi psikologi, ada dua faktor yang membuat pasangan memilih childfree, yaitu berkaitan dengan nilai-nilai yang dianut dan masalah kesehatan mental.


"Ada banyak faktor yang akhirnya pasangan memilih untuk childfree. Kalau dilihat dari sisi psikologi ada dua, yang pertama itu dilihat dari nilai-nilai yang dianut," ujar Ketua Program Studi Psikologi Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Jakarta, Irma Safitri dalam tayangan Swara NU: Childfre dalam Perspektif Psikologi.


Kemudian faktor psikologi kedua yang membuat pasangan memilih untuk childfree adalah berkaitan dengan masalah kesehatan mental. "Kesehatan mental dalam artian seperti ini, ada individu yang menganggap ketika dia menjadi orang tua, menjadi ayah, menjadi ibu secara mental nggak siap," ungkapnya.


Hal itu, bisa dipengaruhi oleh trauma-trauma masa kecil. Misalnya ketika kecil mengalami trauma kekerasan yang membekas hingga dewasa, dan akhirnya saat dewasa memilih untuk tidak memiliki anak dikarenakan takut jika punya anak kejadiannya akan terulang.


"Kalau untuk di Indonesia sendiri, pasangan yang memilih untuk childfree lebih banyak alasan yang pertama. Tujuan hidupnya bukan untuk memiliki anak, versi bahagianya yang tidak memiliki anak. Ada juga yang karena kesehatan mental, ketika dia menjadi orang tua ditakutkan tidak bisa mendidik dengan baik karena masa kecilnya mengalami trauma," jelasnya.


Pewarta: Syifa Arrahmah
Editor: Muhammad Faizin