Nasional

Menolak Lupa Tragedi di Wadas, Warga Gelar Mujahadah dan Buka Bersama

Ahad, 24 April 2022 | 13:15 WIB

Menolak Lupa Tragedi di Wadas, Warga Gelar Mujahadah dan Buka Bersama

(Sumber: ig @WadasMelawan)

Purworejo, NU Online 

Pada hari Sabtu (23/4/2022), warga Wadas kembali menggelar mujahadah dan buka bersama di Dusun Kaliancar, Purworejo, Jawa Tengah. Kegiatan ini dalam rangka menolak lupa tindakan represif yang dilakukan oleh aparat kepolisian terhadap warga Wadas pada 23 April 2021. Kejadian ini disebut dengan tragedi 234.


Ketakutan, hidup tertekan dan ancaman pasca-tragedi 234 itu masih dirasakan warga Wadas hingga saat ini. Pasalnya, belum genap satu tahun dari tragedi 234, aparat kembali melakukan pengepungan, penangkapan dan kekerasan kepada warga yang menolak penambangan batu andesit Desa Wadas untuk pembangunan Bendungan Bener saat tengah bermujahadah di Masjid Krajan pada 8 Februari 2022 lalu.


“Kemarin itu tepat satu tahun tragedi 23 April 2021. Momentum kemarin tujuannya untuk menolak lupa sejarah perjuangan warga Wadas yang sangat panjang ini. Jadi kita gelar doa bersama di lokasi kejadian itu kemudian mengadakan buka bersama,” ujar salah satu warga Wadas, Khoirul Umam, kepada NU Online, Ahad (24/4/2022).


Peringatan 234 ini, terang Umam, dimulai dengan pentas seni anak-anak Wadas serta pemutaran film menolak tragedi 234. Acara ini juga dihadiri oleh akademisi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Walhi Yogjakarta, LBH Yogyakarta, dan jaringan solidaritas warga Wadas. 


Umam menerangkan, setelah pentas seni acara dilanjutkan dengan mujahadah bersama untuk memohon kepada Allah agar tragedi 234 tidak terjadi lagi dan warga Wadas senantiasa diberi keselamatan dalam menjaga dan menyelamatkan alam Desa Wadas dari segala bentuk upaya perusakan lingkungan dan perampasan ruang hidup. 


Selain itu, mujahadah dan buka bersama ini digelar sebagai bentuk penegasan kembali sikap warga yang tetap menolak penambangan quarry di Desa Wadas. “Hingga saat ini dan sampai kapan pun warga tetap kompak dan konsisten untuk berjuang mempertahankan Wadas serta melawan segala bentuk penindasan terhadap warga Wadas,” jelasnya.


Awal Terjadi Konflik di Desa Wadas 

Konflik antara aparat dengan warga Wadas berangkat dari rencana penambangan quarry untuk pembangunan Bendungan Bener di Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Dikutip dari laman petisi, Bendungan Bener merupakan salah satu proyek strategis nasional (PSN) yang akan memasok sebagian besar kebutuhan air ke Bandara Yogyakarta International Airport (YIA) di Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta.


Sementara menurut data yang tercatat di laman Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP), Bendungan Bener rencananya akan memiliki kapasitas 100,94 meter kubik. Dengan kapasitas tersebut, Bendungan ini dapat mengairi lahan seluas 15.069 hektare dan mengurangi debit banjir hingga 210 meter kubik per detik.


Bendungan ini juga dapat menyediakan pasokan air baku hingga 1,60 meter per detik, serta menghasilkan listrik sebesar 6 MW.  Bendungan ini dibangun menggunakan APBN dengan nilai total proyek mencapai 2,060 triliun.


Proyek Pembangunan itu berada di bawah Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dan melibatkan tiga BUMN yaitu PT Brantas Abipraya (Persero), PT Pembangunan Perumahan (Persero) Tbk, dan PT Waskita Karya (Persero) Tbk.


Alasan Warga Tolak Penambangan Batu 

Proyek Bendungan Bener ini memerlukan pasokan batuan andesit sebagai material pembangunan. Oleh pemerintah, kebutuhan batuan ini diambil dari Desa Wadas. Dari laman petisi terungkap, luas lahan di Desa Wadas yang akan dikeruk untuk penambangan andesit mencapai 145 hektare.


Sebagian warga menolak rencana penambangan quarry tersebut. Sebab, hal itu dikhawatirkan akan merusak 28 titik sumber mata air warga Desa Wadas. Penambangan juga dikhawatirkan menyebabkan Desa Wadas semakin rawan longsor.


Berdasarkan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Purworejo 2011-2031, Kecamatan Bener, termasuk di dalamnya Desa Wadas, merupakan bagian dari kawasan rawan bencana tanah longsor. 


Kontributor: Suci Amaliyah

Editor: Alhafiz Kurniawan