Nasional NGAJI TASAWUF

Merevolusi Cara Pandang Beribadah

Kam, 14 Januari 2016 | 04:00 WIB

"Bagaimana cara kita 'menghadirkan' Allah dalam tiap ibadah kita sehingga kita semakin dekat dengan-Nya?" Demikian pertanyaan salah seorang peserta pengajian kitab Al-Hikam yang digelar Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU) di Masjid An-Nahdlah, Gedung PBNU, Jakarta, Rabu (13/1).
<>
"Kita perlu merevolusi cara pandang kita dalam beribadah," jawab sang pengasuh, KH Luqman Hakim. "Kita seringkali kebolak-balik dalam memandang sesuatu."

Menurut Kiai Luqman, Allah sesungguhnya sudah lebih dulu hadir sejak kita terbesit untuk beribadah kepada-Nya. Allah menggandeng hamba-Nya untuk berbuat baik, sehingga tergeraklah ia berbuat demikian. Tanpa kuasa-Nya manusia tak sanggup melakukan apa-apa, bahkan untuk sekadar berniat sekalipun. Orang-orang yang tergerak beribadah atau berbuat baik adalah orang-orang terpilih, yang menerima panggilan suci dari Sang Ma'bûd, Allah subhânahu wata'ala.

Logika bahwa manusia beribadah atau berbuat baik untuk tujuan mendekatkan diri (taqarrub) adalah pandangan yang membalik kenyataan tersebut. Anggapan itu menampilkan seolah hamba berjalan sendiri dan akan menuju Tuhannya. Padahal, titik berangkat justru dari Allah (mina-Llâh), dan seyogianya berbuat dengan kesadaran bahwa ia selalu bersama Allah (bi-Llâh), dan seluruh aktivitas hanya untuk satu tujuan, yakni Allah (li-Llâh).

Kiai Luqman menyampaikan hal itu pada sesi tanya-jawab dalam pengajian perdana yang membahas aforisme Al-Hikam pertama tentang ketergantungan hamba terhadap amal kebaikan (al-i'timâd 'alal 'amal).

Lantas mengapa seseorang beribadah tapi sering tidak menemukan kekhusukan?

"Kita pernah kan pulang kerja malam-malam, belum shalat isya', lalu rasanya berat sekali mau menunaikan sembahyang? Begitu kita sudah shalat, beres, rasanya 'plong' banget," ujanrnya.

Bagi Kiai Luqman, rasa "plong" itu justru mengindikasikan ada problem dalam ibadah kita. Karena kelegaan itu jelas berangkat dari menganggap shalat sebagai sebuah beban. Ketika beban terselelesaikan maka ringanlah sudah urusan. Ini bagian dari kinerja nafsu. Karena seyogianya ketenangan terjadi bukan setelah seseorang rampung shalat tapi saat berada dalam shalat. Lagi pula ketenangan sebetulnya bukan tujuan itu sendiri, karena tujuan yang sejati adalah Allah (li-Llâh).

Hal ini juga kerap terjadi pada dzikir dan ibadah-ibadah lainnya. "Ketika kita berdzikir lalu kemudian merasakan nikmat sekali, segera sadarkan diri kita bahwa kenikmatan itu hanyalah hikmah (efek samping, red), bukan tujuan," lanjutnya.

Begitulah, rangkaian kesadaran mina-Llâh, bi-Llâh, dan li-Lâh mesti berjalin seiring untuk menepis seorang hamba terjerat dalam sikap mengandalkan amal kebaikannya (al-i'timâd 'alal 'amal). Kata Kiai Luqman, makluk pertama yang terjangkit penyakit al-i'timâd 'alal 'amal adalah iblis. Karena telah beribadah dan tak pernah maksiat kepada Allah selama 80 ribu tahun, ia merasa perlu menolak perintah Allah untuk sujud hormat kepada Nabi Adam 'alaihis salam.

Pengajian kitab Al-Hikam karya Syekh Ibnu Athaillah ini bersifat terbuka untuk umum. LDNU selaku penyelenggara menjadwalkan ngaji tasawuf ini tiap Rabu kedua saban bulan, tepat usai sembahyang Dhuhur secara berjamaah di masjid setempat. Pengaian Al-Hikam ini menjadi bagian dari pengajian mingguan tiap Rabu, yang digelar dengan materi dan narasumber yang beragam. (Mahbib)