Nasional

Muchlis Hanafi: Teks Al-Qur’an Tetap, Terjemahannya Bisa Berubah

Kam, 30 Juli 2020 | 21:00 WIB

Muchlis Hanafi: Teks Al-Qur’an Tetap, Terjemahannya Bisa Berubah

Kepala LPMQ Muchlis M Hanafi saat berbicara dalam webinar bertema ‘Bedah Terjemahan Al-Qur’an Edisi Penyempurnaan 2019’, Rabu (29/7). (Foto: Istimewa)

Jakarta, NU Online
Al-Qur’an merupakan sumber primer bagi umat Islam dalam memahami ajaran Islam selain hadits. Sebagaimana diketahui, bahasa yang digunakan pada Al-Qur’an adalah Bahasa Arab sehingga tidak semua orang bisa memahaminya secara langsung.


Dalam memberikan pemahaman kepada masyarakat awam, Kementerian Agama Republik Indonesia melalui Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an (LPMQ) Balitbang Kemenag RI telah menerbitkan Al-Qur’an terjemah yang saat ini telah terbit edisi 2019.


Kepala LPMQ Muchlis M Hanafi menyatakan, kebenaran Al-Qur’an itu absolut. Sebab, secara teks tidak pernah mengalami perubahan, karena merupakan firman Allah. Sedangkan untuk terjemah Al-Qur’an yang merupakan hasil karya manusia itu dimungkinkan untuk terus disempurnakan.


“Oleh karena itu, terjemahan Al-Qur’an Kementerian Agama juga telah mengalami beberapa kali penyempurnaan,” ungkapnya dalam acara webinar terjemahan Al-Qur’an Kemenag RI bertema ‘Bedah Terjemahan Al-Qur’an Edisi Penyempurnaan 2019’, Rabu (29/7).


Hingga saat ini, Al-Qur’an terjemah yang diterbitkan oleh Kemenag telah mengalami tiga kali penyempurnaan. Tepatnya edisi pertama tahun 1989-1990 saat akan dicetak oleh Mujamma’ Malik Fahd. Kemudian tahun 1998-2002.


“Edisi yang sampai saat ini beredar di tengah masyarakat itu adalah edisi penyempurnaan tahun 2002. Dari 2002 sampai 2016, kita mulai kembali penyempurnaan tahap ketiga,” ujar Muchlis.


Menurut dia, perkembangan dan penyempurnaan terjemahan Al-Qur’an yang diterbitkan oleh Kemenag itu mempertimbangkan perkembangan Bahasa Indonesia serta dinamika kehidupan masyarakat.


Perkembangan bahasa
“Ini tentu dengan mempertimbangkan perkembangan Bahasa Indonesia dan dinamika kehidupan. Ada banyak hal yang perlu kita akomodir. Karena itu berkaitan erat dengan pemahaman masyarakat terhadap Al-Qur’an,” tukas doktor jebolan Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir ini.


Ia menegaskan, penyempurnaan terjemahan Al-Qur’an yang dilakukan ini bukan berarti yang sebelumnya tidak benar. “Kalau nanti ada yang bertanya bagaimana dengan terjemahan yang lalu, apakah di-manshukh (dihapus dan digantikan dengan yang baru, red),” tegasnya.


Hal ini dibuktikan dengan masih beredarnya produk terjemahan edisi sebelumnya di tengah masyarakat. “Saya rasa tidak. Dia akan tetap beredar. Cuma nanti akan ada pilihan bahwa sesuai dengan penyempurnaan tahap ketiga. Inilah yang kami pandang sudah lebih baik dari segi penggunaan bahasa maupun pilihan kata dan makna,” paparnya.


“Jadi, kita mencoba untuk menghadirkan kembali terjemahan ini yang lebih kontekstual, yang lebih mudah dipahami oleh masyarakat muslim Indonesia saat ini,” imbuh Muchlis.


Tak hanya itu saja, dalam proses penyempurnaan terjemah Al-Qur’an ada masalah yang muncul, yakni kesulitan dalam melakukan penyempurnaan terjemah yang sudah ada. “Tentu sebagai penerjemah, menyempurnakan terjemah yang sudah ada itu lebih sulit dibandingkan dengan menerjemahkan dari awal,” bebernya.


“Ini karena kita berhadapan pada persoalan yang sangat mendasar, bahwa penerjemahan Al-Qur’an itu pada dasarnya merupakan proses dari bahasa sumber ke bahasa sasaran. Nah, pengalihbahasaan itu harus sepadan, akurat, dan harus masuk ke teks sasaran. Teorinya seperti itu. Tetapi dalam penerapannya ini sulit sekali,” tambahnya.


Dikatakannya, dalam menemukan terjemahan yang sepadan dengan bahasa sumber, dalam hal ini adalah bahasa Al-Qur’an terdapat kendala lain, yakni masalah bahasa serta budaya yang berbeda.


“Tentu ada perbedaan dalam masalah bahasa, budaya. Ini kendala yang kita hadapi dalam proses penyempurnaan,” tutur pria yang juga Direktur Pusat Studi Al-Qur’an ini.


Problem kebahasaan
Senada dengan Kepala LPMQ, KH Abdul Ghafur Maimoen (Gus Ghafur) yang juga menjadi salah satu narasumber acara tersebut. Menurut dia, ketidaksamaan antara bahasa sumber, dalam hal ini adalah Bahasa Al-Qur’an dengan bahasa sasaran, dalam hal ini adalah Bahasa Indonesia menjadi problem utama bagi penerjemah.


“Satu bahasa tidak mungkin disamakan dengan bahasa lainnya dalam semua aspek. Artinya, bahasa Al-Qur’an itu tidak bisa disamakan dengan Bahasa Indonesia. Bahkan, unsur perbedaan tampak sangat menonjol,” kata Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Al-Anwar Sarang, Rembang, Jawa Tengah ini.


“Penerjemah dipaksa memilih antara bahasa sumber atau bahasa sasaran. Kepentingannya itu Bahasa Arab-nya atau Bahasa Indonesia-nya. Kedua pilihan ini sama-sama tidak menyenangkan, karena ingin keduanya sama-sama terwakili,” lanjutnya.


Atas dasar itu, putra Almaghfurlah KH Maimoen Zubair ini mengatakan, terjemahan tidak mewakili sepenuhnya teks asli. Akan tetapi, lebih merupakan pemahaman atau pilihan terhadap sebagian makna teks asli yang kemudian dituangkan kepada bahasa sasaran.


“Jadi para pembaca terjemahan Kemenag ini jangan menganggap seperti apa yang telah berkali-kali disampaikan bahwa ini mewakili Al-Qur’an. Tidak seperti itu. Itu (terjemahan, red) hanya mewakili sebagian dari makna Al-Qur’an yang bisa dipahami oleh penerjemah. Seringkali, itu adalah pilihan dari berbagai pilihan yang akhirnya dipilih pada suatu makna tertentu,” jelasnya.


Kontributor: Ahmad Hanan
Editor: Musthofa Asrori