Nasional MUNAS KONBES NU 2023

Munas NU 2023 Bolehkan Perubahan Tempat Miqat bagi Jamaah Haji dan Umrah

Rab, 20 September 2023 | 14:00 WIB

Munas NU 2023 Bolehkan Perubahan Tempat Miqat bagi Jamaah Haji dan Umrah

Ketua Komisi Bahtsul Masail Maudhuiyah KH Abdul Moqsith Ghazali saat menyerahkan materi kepada Wakil Ketua SC Munas Konbes Nu 2023 H Amin Said Husni di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta, Selasa (19/9/2023). (Foto: NU Online/Suwitno)

Jakarta, NU Online 

Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama Nahdlatul Ulama (NU) memutuskan untuk membolehkan perubahan tempat miqat bagi jamaah haji dan umrah. Putusan Munas Alim Ulama NU ini sebelumnya dibahas di Komisi Bahtsul Masail Maudlu'iyah, lalu disahkan dalam rapat pleno pengesahan sidang komisi-komisi di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta, pada Selasa (19/9/2023). 


Ketua Komisi Bahtsul Masail Maudlu'iyah Munas Alim Ulama NU KH Abdul Moqsith Ghazali menjelaskan alasan diperbolehkannya perubahan tempat miqat itu.


Beberapa di antaranya adalah karena telah terjadi beberapa perubahan dalam pelaksanaan ibadah haji, yakni perluasan Mina sebagai tempat mabit, perluasan lintasan thawaf yang bukan hanya di arena sekitar kakbah tetapi sampai di lantai-lantai masjidil haram, perluasan tempat sa’i, dan perluasan padang Arafah. 


Jamaah haji juga tidak hanya berasal dari miqat-miqat di zaman Nabi, melainkan berasal hampir dari seluruh penjuru dunia. Di antaranya dari dataran Asia, Afrika, Amerika, Eropa, dan sudut dunia lainnya. 


Di sisi lain, jamaah haji yang datang dari berbagai daerah di seluruh dunia tidak lagi menggunakan jalur darat tetapi sebagian besar menggunakan tranportasi udara. 


"Sehingga sangat sulit memulai ibadah haji dari tempat-tempat yang telah ditentukan oleh Rasulullah maupun Sayyidina Umar, khususnya bagi jamaah yang jauh dari tempat-tempat itu," jelas Katib Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) itu.


Ia menjelaskan, sebagian ulama kontemporer membolehkan Jeddah sebagai miqat makani atau tempat miqat bagi jamaah haji yang datang ke Makkah melalui Bandara King Abdul Aziz Jeddah. 


Dalam persoalan miqat makani ini, Komisi Bahtsul Masail Maudlu'iyah merumuskan pertanyaan untuk dibahas dan dijawab di dalam sidang. 


Apakah miqat makani bersifat ta’abbudiy-tauqifiy sehingga tidak boleh menambahkan tempat-tempat lain selain yang ditetapkan oleh Rasulullah dan Sayyidina Umar ra atau bersifat ta’aqquli-ijtihadi yang masih memberikan ruang untuk menambahkan miqat-miqat makani yang lain?


Kiai Moqsith kemudian mengutip sebuah hadits Nabi yang menetapkan empat tempat miqat. Pertama,  Dzulhulaifah bagi penduduk Madinah. Kedua, Juhfah bagi penduduk Syam. Ketiga, Qarn al-Manazil untuk penduduk Najd. Keempat, Yalamlam untuk penduduk Yaman. Sebagian ulama meragukan Yalamlam sebagai miqat yang ditetapkan Rasulullah. 


Kemudian, Kiai Moqsith menuturkan bahwa Rasulullah belum menetapkan miqat makani untuk ahli masyriq dan ahli daerah penaklukkan baru, yaitu Bashrah dan Kufah yang kemudian Sayyidina Umar menetapkan Dzatu Irqin sebagai miqat makani bagi mereka. 


"Dari sini dipahami bahwa terdapat lima miqat makani, tiga yang pertama manshush dari Rasulullah, yaitu Bir Ali, Juhfah, dan Qarnul Manazil. Satu miqat, yaitu Yalamlam, menurut pendapat yang ashah adalah manshush dari Rasulullah, dan satu miqat lagi yaitu Dzatu Irqin menurut pendapat Imamul Haramain adalah hasil ijtihad Sayyidina Umar," jelasnya.


Dari situ, ulama lantas memperluas beberapa miqat bagi jamaah haji yang belum memiliki miqat yang manshush untuk berihram dari tempat yang muhadzah (sejajar), yaitu tempat yang sejajar dengan miqat yang sudah manshush atau mengambil tempat yang berjarak dua marhalah (80+ Km) dari Makkah. 


Dengan demikian, jamaah haji yang mengarungi lautan atau menempuh jalan yang tak terdapat satu pun dari lima miqat di dalam rutenya, maka berihram ketika berada di lokasi yang sejajar dengan posisi miqat terdekat. 


Tetapi jika sama sekali tidak dijumpai lokasi yang sejajar dengan miqat mana pun, maka orang tersebut berihram dari tempat yang antara jaraknya ke Makkah tidak kurang dari dua marhalah. 


Apabila persoalan itu menjadi sangsi (rancu dan ambigu) maka orang tersebut seharusnya benar-benar mencari dan menemukan tempat yang diduga sejajar dengan miqat-miqat itu. Dalam konteks ini kehati-hatian sangat diperlukan.


"Berdasarkan pandangan ini maka dapat dipahami bahwa penetapan miqat makani mengandung unsur ijtihadi-ta’aqquli (membolehkan memberikan ruang untuk menambahkan tempat miqat lain)," ungkap pengajar di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu.


Putusan mengenai miqat makani ini telah resmi menjadi putusan Munas Alim Ulama setelah ditetapkan dalam sidang pleno pengesahan sidang komisi yang dipimpin oleh Wakil Ketua Umum PBNU H Amin Said Husni.