Nasional IIDC 2023

Munas NU di Banjar hingga Teladan Raja Asoka di India Jadi Landasan PBNU Inisiasi ASEAN IIDC

Rab, 12 Juli 2023 | 21:00 WIB

Munas NU di Banjar hingga Teladan Raja Asoka di India Jadi Landasan PBNU Inisiasi ASEAN IIDC

Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) saat Sosialisasi menuju ASEAN Intercultural and Interreligious Dialogue Conference (IIDC) 2023. (Foto: istimewa)

Jakarta, NU Online

Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) berencana akan menggelar ASEAN Intercultural and Interreligious Dialogue Conference (IIDC) atau Dialog Antar-Budaya dan Antar-Agama Asia Tenggara, pada September 2023 mendatang.


ASEAN IIDC diselenggarakan atas inisiasi PBNU dan menjadi bagian dari rangkaian perhelatan Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN, di mana Indonesia menjadi tuan rumah. Agenda tersebut bakal dilangsungkan di Jakarta.
 

Sebelum menggelar ASEAN IIDC, PBNU terlebih dulu menggelar sosialisasi di berbagai wilayah. Baru-baru ini, sosialisasi tentang perhelatan ASEAN IIDC itu digelar di Palembang, Sumatra Selatan, pada Senin (10/7/2023) kemarin. Beberapa waktu sebelumnya, agenda sosialisasi digelar di Surabaya, Jawa Timur.


Landasan PBNU Gelar ASEAN IIDC

Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf mengungkapkan sejumlah landasan untuk bisa menggelar ASEAN IIDC sebagai sebuah inisiatif untuk menciptakan kehidupan harmoni di tengah perbedaan. 


Landasan itu antara lain adalah hasil Musyawarah Nasional Alim Ulama Nahdlatul Ulama atau Munas NU di Kota Banjar, Jawa Barat, pada 2019 hingga teladan Raja Asoka di India. Berikut bebeberapa landasan yang disampaikan Gus Yahya dalam pidatonya di Palembang, beberapa hari lalu 


1. Munas NU di Banjar 2019

Salah satu hasil Munas NU di Banjar pada 2019 adalah menghapus istilah kafir di dalam konteks bernegara. Gus Yahya menyatakan, kategori non-Muslim atau status non-Muslim tidak punya relevansi hukum di dalam konteks negara-bangsa modern. 


"Ini adalah rekontekstualisasi. Dulunya kalau dalam wawasan Islam yang lama, yang namanya non-Muslim itu wajib didiskriminasi. Makanya ada ide tentang kafir harbi, dzimmi. Kafir harbi itu berarti harus diperangi. Kafir dzimmi ini kafir yang dijadikan warga negara kelas dua. Itu dalam wawasan lama," tutur Gus Yahya.


Menurut Gus Yahya, hasil Munas NU di Banjar itu merupakan salah satu contoh dari upaya untuk menciptakan kehidupan harmonis di tengah konteks realitas hari ini yang beragam.


Sebab realitas kehidupan saat ini tidak memungkinkan untuk mempertahankan nilai-nilai yang menempatkan suatu kelompok berdasarkan identitas agama. 


"Maka harus dibuat rumusan baru, sehingga NU menyatakan bahwa status kafir, status Non-Muslim tidak punya relevansi hukum di dalam konteks negara-bangsa modern karena setiap warga negara harus setara di depan hukum. Ini salah satu contoh," kata Gus Yahya.


2. Konsili Vatikan II

Landasan berikutnya yang dipakai Gus Yahya adalah hasil dari Konsili Oikumenis Vatikan Kedua atau Konsili Vatikan II. Konsili tersebut dihelat Gereja Katolik Roma yang dibuka oleh Paus Yohanes XXIII pada 11 Oktober 1962 dan ditutup oleh Paus Paulus VI pada 8 Desember 1965.


Gus Yahya menjelaskan bahwa hasil dari Konsili Vatikan II pada 1965 tak jauh berbeda dengan hasil Munas NU di Banjar pada 2019. 


"Pada tahun 1965 dalam Konsili Vatikan II, ketika Gereja Katolik mengatakan bahwa ada keselamatan di luar gereja Katolik, maka itu berarti penghargaan terhadap perbedaan," terang Gus Yahya.


3. Gerakan Yahudi Masorti

Gus Yahya menjelaskan bahwa pada 2016, ada satu kelompok Yahudi yang menyebut dirinua sebagai gerakan Masorti. Mereka mengklaim sebagai penganut Yahudi yang konservatif tetapi bukan ortodoks.


"Konservatif tapi bukan ortodoks. Mereka masih memegangi warisan-warisan tekstual dari wacana agama Yahudi tapi mereka bersedia melakukan rekontekstualisasi. Jadi kira-kira ini mirip dengan NU, konservatif tapi tidak ortodoks," tutur Gus Yahya.


Para penganut Yahudi dalam gerakan Masorti ini juga melakukan hal sama, yakni sebuah inisiatif untuk mengupayakan kehidupan harmoni di tengah perbedaan. Upaya itu dilakukan pada 2016 dengan melakukan pertemuan para rabi (tokoh agama Yahudi) di kalangan Yahudi Masorti. Pertemuan itu menghasilkan sebuah dokumen yang mereka sebut sebagai Teshuvah atau dokumen pertobatan. 


"Di situ dengan terang-terangan dan jujur sekali, rabi-rabi Yahudi ini membuat tinjauan kritis terhadap gagasan dalam wawasan agama Yahudi yang menganggap Non-Yahudi sebagai manusia kelas dua," jelas Gus Yahya.


Sebab di dalam khazanah Yahudi, ada narasi yang menyatakan bahwa orang-orang yang berasal dari kalangan non-Yahudi disebut sebagai gentile (kata lain dari kafir). Orang-orang yang dianggap gentile itu adalah manusia yang derajatnya lebih rendah dari orang Yahudi. 


Bahkan, Gus Yahya mengungkapkan bahwa ada satu dokumen yang menyatakan orang Yahudi tercipta dari cahaya, sedangkan manusia lain diciptakan dari api. Mirip narasi tentang malaikat dan setan dalam wacana Islam.


"Itu ada begitu-begitu dan ditinjau secara kritis oleh Gerakan Yahudi Masorti ini. Mereka membuat usulan tentang rekontekstualisasi bahwa nilai-nilai semacam ini tidak bisa lagi diteruskan, harus direkontekstualisasi," tegas Gus Yahya.


4. Teladan Raja Asoka di India

Landasan berikutnya adalah soal teladan Raja Asoka di India yang selalu dijadikan contoh baik oleh Gus Yahya. Raja Asoka hidup pada abad ke-3 masehi yang menghabiskan separuh kekuasaannya dengan peperangan dan pembantaian luar biasa. Tetapi kemudian, Asoka berbalik menjadi raja yang mempromosikan toleransi dan harmoni.

 
“Kampanye untuk toleransi dan harmoni yang dilancarkan Raja Asoka ini dilakukan dengan sangat deliberate dan dengan pengerahan kapasitas besar-besaran sehingga mencapai ke ujung-ujung Indo-Pasifik. Salah satunya tercatat di Nusantara ini,” ucap Gus Yahya. 


Dari teladan Raja Asoka yang merupakan sebuah warisan peradaban itu, Gus Yahya yakin bahwa ke depan akan punya landasan kuat untuk membangun strategi.


"Itulah sebabnya teman-teman di NU ini berpikir tentang satu strategi yang kemudian kami menyebutnya sebagai pendekatan Asoka, Asoka Approach. Karena ini modal kita bersama yaitu warisan peradaban yang sama, peradaban Asoka yang basisnya adalah nilai-nilai tentang toleransi dan harmoni," jelas Gus Yahya.


Mulai dari hasil Munas NU di Banjar hingga teladan Raja Asoka itu merupakan sebuah sejarah yang menunjukkan bahwa upaya membangun konsolidasi untuk harmoni di tengah perbedaan sangat mungkin bisa dilakukan, karena memang sudah dilakukan. Lalu landasan-landasan itu dikapitalisasi untuk bisa membangun strategi yang lebih kuat.


"Kalau ini kita kapitalisasi, kita punya alat mengonsolidasikan satu basis konstituensi masyarakat yang luas sekali di ASEAN dan Indo-Pasifik untuk memberikan wujud yang konkret dari peradaban yang harmonis," tutur Gus Yahya.


Adil dan Harmonis

Secara logika, semua manusia tidak punya pilihan di tengah-tengah arah perkembangan menuju satu peradaban tunggal yang saling bercampur ini. Umat manusia juga tidak bisa mengangankan satu visi tentang peradaban masa depan demi keselamatan dan kemaslahatan semua orang, selain untuk mengupayakan terwujudnya satu peradaban yang dilandaskan dengan tatanan yang sungguh-sungguh adil dan harmonis. 


"Adil dan harmonis itu hanya mungkin diwujudkan atas dasar penghargaan, penghormatan terhadap kesetaraan hak dan martabat bagi setiap manusia. Selama masih ada diskriminasi tidak akan ada keadilan, dan selama tidak ada keadilan tidak akan ada harmoni dan selama tidak ada harmoni tidak akan ada kedamaian," katanya.


Gus Yahya berharap, wacana yang telah dan akan terus dikembangkan itu bisa disumbangkan dalam konteks Asia Tenggara, sehingga ia mengupayakan agar forum ASEAN IIDC digelar sebelum KTT ASEAN diselenggarakan.


Terkait penyelenggaraan ASEAN IIDC, Gus Yahya mengaku sudah mendapatkan izin dari Presiden Joko Widodo. Bahkan sudah bekerja sama dengan Kementerian Luar Negeri. Harapannya agar sumbangan dan kontribusi gagasan yang dihasilkan dari forum dialog itu, nanti bisa diadopsi di dalam kesimpulan-kesimpulan dari KTT ASEAN. 


"Mudah-mudahan bisa menjadi wacana yang diterima oleh kalangan yang lebih luas dan kemudian diproses di lingkungan masing-masing untuk didialogkan kembali bersama-sama, sehingga menjadi strategi yang nyata, dan memberikan sumbangan yang signifikan terhadap strategi membangun ASEAN sebagai epicentrum of growth," harapnya.


"Mudah-mudahan harapan-harapan baik ini bisa mencapai wujudnya, maksud-maksud baik ini bisa mencapai tujuannya," pungkas Gus Yahya.


Pewarta: Aru Lego Triono