Nasional

Ngaji Suluk Maleman: Puasa dan Orientasi Kehidupan

Ahad, 17 April 2022 | 20:09 WIB

Ngaji Suluk Maleman: Puasa dan Orientasi Kehidupan

Ngaji suluk maleman. (Foto:Istimewa)

Jakarta, NU Online

Ibadah puasa dinilai menjadi cara terbaik untuk memperbaiki diri, baik secara rohani mau pun jasmani. Seperti juga shalat, kecuali kaitan utamanya dengan perawatan rohani manusia; puasa ternyata secara jasmaniah juga langsung berkaitan dengan penjagaan kesehatan. Hanya saja dalam peribadahan ini, masalah perawatan jasmaniah hanya berposisi sebagai keuntungan ikutan, dan tidak pernah menjadi orientasi utama.


Bahkan, dalam hadits sudah ditegaskan bahwa bila orientasinya hanya penjagaan dan perawatan yang jasmaniah, orang hanya hanya akan memperoleh lapar dan dahaga dan kehilangan nilai puasa yang sebenarnya. Dari sini kita diajari bahwa perawatan dan penjagaan yang rohaniah, harus selalu menjadi orientasi utama hidup manusia; dan sebagai pasangan ikutannya, perawatan dan penjagaan yang ruhani tersebut secara sekaligus juga harus bermakna secara jasmaniah.


Dengan berpuasa, selapis demi selapis orang dihadapkan dengan dirinya sendiri. Dari situ orang diharap semakin mengenali dirinya dan kemudian memperbaikinya ke arah yang lebih baik.


Semua itu bisa tercapai jika kita tetap menjaga kewaspadaan. Bila ini tak tercapai, jangan-jangan kita tak mendapat apa-apa saat berpuasa. Pengantar yang disampaikan oleh Anis Sholeh Ba’asyin tersebut yang kemudian menjadi bahasan dalam gelaran Suluk Maleman edisi ke 124 Sabtu (16/4) malam kemarin.


Ilyas Arifin misalnya, mengingatkan banyak sandungan kecil yang tanpa terasa bisa mengurangi dari esensi puasa itu sendiri. Selayaknya hama dalam tanaman padi.


“Hal paling mendasar kita berpuasa akan merasa lapar. Dengan rasa lapar itulah kita bisa merasakan orang tidak mampu bahkan yang kesulitan makan. Ini tentu akan memunculkan simpatik kita ke sekitar,” terangnya.


Hanya saja seolah-olah sebagian orang lupa akan hal tersebut. Mereka justru masih saja khawatir akan kelaparan hingga akhirnya mengkonsumsi berbagai macam obat dan suplemen. Sehingga lupa bagaimana merasakan sulitnya menahan lapar.


Senada dengan Ilyas, Prof Saratri Wilonoyudho juga mengingatkan bahwa puasa tidak sebatas persoalan ritual namun nilai pentingnya dalam ranah sosial. Puasa tidak sekadar menahan diri untuk tidak makan dan minum serta berhubungan badan, namun juga memelihara nafsu sehingga tidak mudah merusak bumi.


“Padahal seseorang berpuasa yang tahu hanya Allah dan dirinya sendiri. Sebenarnya ini adalah metode untuk mendekatkan diri kepada Allah. Kalau dia sadar, dia akan senantiasa berhati-hati karena merasa diawasi Allah. Kalau sudah begitu tentu dia tidak akan berani korupsi ataupun mencuri. Sekalipun tak ada orang yang tahu, dia yakin jika Allah mengetahuinya. Seperti tetap tak makan dan minum sekalipun tak ada orang yang melihatnya,” tambahnya.


Prof Saratri  juga menyoroti perihal sesuatu yang halal namun diharamkan saat berpuasa. Seperti berhubungan suami istri. Hal itu menunjukkan manusia pun dinilai tetap penting menahan diri meskipun dia halal melakukan sesuatu.


“Misalkan saja saya orang kaya dan bisa membeli mobil Rp9 miliar. Namun atas pertimbangan etika akhirnya saya haramkan. Saya berpuasa untuk cukup membeli mobil sederhana saja. Apalagi jika tetangga saya masih banyak yang kekurangan. Begitu juga berpuasa untuk tidak merusak alam ini,” sentilnya.


Sementara itu, Anis Sholeh Ba’asyin, penggagas Suluk Maleman menambahkan, puasa dapat membantu memperoleh kualitas ketakwaan. Takwa sendiri bisa diartikan sebagai langkah kehati-hatian dan kewaspadaan.


“Puasa tidak saja memberi manfaat secara zahir atau baik untuk kesehatan. Dalam sebuah penelitian menyebut dengan berpuasa, tubuh akan lebih banyak membakar lemak untuk energi tubuh. Seperti halnya shalat yang dilakukan dengan baik akan juga berdampak positif selayaknya telah berolahraga,” terangnya.


Meski begitu puasa tentu bukan sebatas untuk yang zahir saja melainkan banyak untuk rohani. Terlebih dengan mengelola nafsu dengan baik. Terlebih nafsu seringkali menipu umat manusia. Menyetir pada sesuatu yang berdampak buruk.


“Lewat berpuasa kita belajar pengelolaan diri. Puasa juga mengajarkan untuk mengenali diri, lingkungan, maupun semesta. Puasa secara prinsip juga mengajarkan hubungan sosial,” terangnya.


Puasa mendidik kita untuk saling menghormati. Dengan berpuasa, kita dikondisikan untuk selalu menempatkan diri tidak lebih baik dari sesama makhluk lainnya.


“Karena dengan puasa, kita diharap mampu meraih kesadaran bahwa hanya Allah-lah yang punya hak menilai. Bukan kita yang akan menilai. Memosisikan diri tidak lebih baik dari yang lain, bahkan merasa lebih rendah, adalah juga langkah awal sekaligus dasar sikap beriman,” tambahnya.


Dalam kesempatan itu Anis Sholeh Ba’asyin juga kembali mengingatkan agar umat untuk berpuasa dalam bermedia sosial. Pasalnya di medsos banyak bertebaran fitnah, ghibah, maupun perilaku yang tidak baik lainnya. Sehingga jalan terbaik adalah meninggalkannya.


“Jadi berpuasa sebenarnya tak hanya saat Ramadhan namun juga di bulan-bulan berikutnya. Yakni dengan menahan diri dari perilaku yang tidak baik,” tambahnya.


Jalannya diskusi budaya itu pun terlihat begitu meriah dan disaksikan ribuan orang dari berbagai kanal media sosial. Selain topik yang menarik, koleksi musik dari Sampak GusUran turut meramaikan Suluk Maleman edisi ke 124 yang digelar secara daring tersebut.


Editor: Muhammad Faizin