Nasional

Nyai Badriyah Fayumi Dorong Nahdlatut Turats Ungkap Bias Gender Sejarah Indonesia 

Sel, 8 Februari 2022 | 10:00 WIB

Nyai Badriyah Fayumi Dorong Nahdlatut Turats Ungkap Bias Gender Sejarah Indonesia 

Pengasuh Pondok Pesantren Mahasina Darul Qur'an wal Hadist Kota Bekasi, Jawa Barat, Nyai Hj Badriyah Fayumi Pekan Memorial Syekh Nawawi Banten' di The Sultan Hotel dan Residence, Tanah Abang, Jakarta Pusat, pada Senin (7/2/2022).  (Foto: NU Online/M Abror)

Jakarta, NU Online 

Pengasuh Pondok Pesantren Mahasina Darul Qur'an wal Hadist Kota Bekasi, Jawa Barat, Nyai Hj Badriyah Fayumi menyayangkan bahwa sejauh ini penulisan sejarah Indonesia masih bias gender. Pasalnya, banyak sejarah perempuan berikut kontribusinya di masa lalu, tapi tidak tertulis dalam buku-buku sejarah. 

 

Berangkat dari hal itu, Nyai Badriyah mendorong kepada sejarawan, terkhusus Nahdlatut Turats untuk mengungkap peran-peran perempuan dalam sejarah Indonesia dan menuliskannya. 

 

"Ini (peran perempuan dalam sejarah) juga bagian dari kekayaan sejarah Nusantara yang juga semoga menjadi kajian penting dari teman-teman pegiat turats Nusantara (Nahdlatut Turats) karena ini juga bagian dari Islam Nusantara," katanya dalam acara 'Pekan Memorial Syekh Nawawi Banten' di The Sultan Hotel dan Residence, Tanah Abang, Jakarta Pusat, pada Senin (7/2/2022). 

 

Lebih lanjut, dalam acara bertajuk Kebangkitan Turats Nusantara dari Indonesia untuk Peradaban Dunia, ia memaparkan peran perempuan dalam sejarah Indonesia menempati posisi-posisi strategis, baik di kepemimpinan ranah publik maupun peran-peran penting di ranah domestik. Hal ini sudah berlangsung sejak sebelum Islam datang di Nusantara sekalipun. 

 

Seperti Ratu Shima yang menjadi penguasa Kerajaan Kalingga yang terletak di pantai utara Jawa Tengah sekitar tahun 674 M dan Tribhuwana Wijayatunggadewi yang menjadi penguasa ketiga dan ratu berdaulat atau raja putri Majapahit yang memerintah tahun 1328-1350 M. 

 

"Dalam kerajaan Islam pun terdapat 17 lebih ratu Muslim yang dilupakan sejarah, empat di antaranya dari Nusantara, tapi ternyata lebih dari empat karena empat itu ari Aceh. Di luar itu (Aceh), ada Ratu Intoraya, Ratu Aisyah, Ratu Kalinyamat, dan Ratu Sinuhun dari Palembang," papar Nyai Badriyah. 

 

"Sayangnya penulisan sejarah yang cukup tidak berimbang ini sering menenggelamkan ini (sejarah perempuan)," imbuhnya. 

 

Contoh bias gender sejarah yang paling nyata, terangnya, adalah tentang sejarah Sultanah Safiatuddin dari Aceh yang berkuasa selama 35 tahun. Ia adalah putri dari Sultan Iskandar Tsani Alauddin Mughayat Syah. 

 

Kontribusi Sultanah Safiatuddin sangat gamilang, termasuk keilmuan pada zaman kepemimpinannya berkembang pesat. Saat ia menjadi sultanah (raja perempuan), ada dua sufi besar yang mendukung kebijakannya, yaitu Syah Wala dan Nuruddin Ar-Raniri. Tapi anehnya, dua nama sufi tersebut yang dijadikan nama perguruan tinggi di Aceh, sementara sang sultanah tidak. 

 

"Nama Sultanah Safiatuddin sendiri tidak ada dalam buku-buku sejarah dan baru muncul sekitar 20 tahunan belakangan ini," sesal Nyai Badriyah. 

 

Contoh lain, lanjut dia, Kitab Perukunan Jamaluddin, yaitu sebuah kitab yang sangat populer di masyarakat Melayu dan dijadikan rujukan dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Sebenarnya kitab tersebut ditulis oleh Fatimah al-Banjari (cucu Syekh M Arsyad al-Banjari). 

 

Karena alasan tidak percaya diri dan khawatir tidak dianggap tidak otoritatif, Fatimah menuliskan kitab tersebut dengan mengatasnamakan pamannya yang terkenal, yaitu Jamaluddin. 

  

"Artinya, kekayaan turats Nusantara juga perlu menggali keterlibatan perempuan, baik yang berperan langsung sebagai yang menulis atau yang ditulis atau berperan langsung dalam pengumpulan turats Nusantara," harap Nyai Badriyah.

 

Hadir sebagai narasumber dalam acara tersebut Habib Ahmad bin Novel bin Salim bin Jindan, Katib Syuriyah PBNU KH Abdul Moqsith Ghazali, Wakil Ketua Umum PBNU KH Zulfa Mustofa, Katib ‘Aam PBNU KH Said Asrori, dan Peneliti Kajian Nusantara Ahmad Baso. 

 

Untuk diketahui, Nahdlatut Turats merupakan forum dibentuk untuk mencapai tujuan bersama dalam rangka mendakwahkan karya-karya ulama Nusantara yang masih berserakan di pesantren-pesantren untuk didigitalisasi, dijaga fisiknya, hingga dicetak untuk dipublikasikan ke masyarakat. 

 

Pada kesempatan ini, selama dua hari dari tanggal 7 sampai 8 Februari, Nahdlatut Turats mengadakan acara ‘Pekan Memorial Syekh Nawawi Banten’ dengan beberapa program, yaitu Bedah Kitab Sejarah Hidup Syaikh Nawawi Banten Karya KH Zulfa Mustofa, Pameran Sejarah Peradaban dan Turats Ulama Nusantara serta Kitab-Kitab Ulama Indonesia Sepanjang Masa.   

 

Berikutnya, peluncuran Kompilasi 11 Buah Kitab Karya Ulama Nusantara (dari abad 17 hingga 20 M), Peresmian Nama Jalan Syeikh Nawawi Banten di Kampung Kebantenan; Cilincing; Jakarta Utara, Pertemuan Ulama Sepuh NU Se-Indonesia, dan Pertemuan Pegiat Turats Nusantara. 

 

Kontributor: Muhamad Abror
Editor: Kendi Setiawan