Nasional

Kesetaraan Gender dan Toleransi Kewargaan dalam Islam

Sen, 17 Januari 2022 | 09:10 WIB

Kesetaraan Gender dan Toleransi Kewargaan dalam Islam

Ilustrasi kesataraan gender. (Foto: NU Online)

Jakarta, NU Online 
International NGO Forum for Indonesian Development (INFID) mengadakan temu virtual dengan Muslimah Feminis, Kalis Mardi Asih, di Instagram live. Temu virtual yang telah dihadiri oleh 100 orang ini merupakan salah satu rangkaian beberapa episode temu virtual lain menuju seminar internasional di tanggal 25-27 Januari 2022, tentang praktik Islam rahmatan lil 'alamin di Indonesia, Malaysia, Tunisia dan Pakistan. Acara ini diinisiasi oleh INFID, bekerja sama dengan Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, serta mendapat dukungan dari Kedutaan Besar Republik Indonesia di negara-negara terkait. 


Temu virtual bersama Kalis menggarisbawahi soal isu kesetaraan gender dan toleransi di Indonesia yang saat ini baru mengalami tantangan melalui perspektif seorang Muslimah. Dipandu oleh Rizka Antika, program Officer Promoting Tolerance and Respect for Diversity, Kalis menerangkan masalah gender, khususnya isu perempuan, di Indonesia bertalian dengan masalah-masalah struktural seperti kemiskinan, pendidikan, budaya, dan niat politik.


"Gagasan-gagasan kesetaraan gender berwawasan Islam memang banyak dipromosikan oleh ulama dan intelektual Muslim Indonesia. Hal ini boleh jadi menempatkan Indonesia pada posisi unggul dibanding negara Timur Tengah perihal studi gender berwawasan Islam. Namun tidak dapat disangkal pula, bahwa masih ada kasus kekerasan terhadap perempuan, diskriminasi struktural, ketidakberdayaan perempuan, terjadi di Indonesia. Angka pernikahan dini di Indonesia juga termasuk tinggi di Asia Tenggara," kata Kalis, Jumat (14/1/2022). 


Isu gender dan perempuan dalam Islam berhubungan dengan banyak faktor. Sejak naiknya gelombang konservatisme dalam satu dekade terakhir, upaya progresif untuk menyajikan narasi agama Islam yang inklusif bagi identitas apapun mendapat persaingan kompetitif dari sebagian kalangan penyaji narasi agama Islam yang eksklusif.


Umat non-Muslim dan perempuan di Indonesia berada pada posisi rentan politisasi agama dan tafsir keagamaan yang bias kepentingan. Budaya patriarki juga memiliki andil pada praktik tersebut. Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah mulai dari diri sendiri dan pasangan untuk membangun hubungan egaliter, agar budaya subordinasi terhadap perempuan tidak terwaris ke generasi berikutnya. 


Masalah toleransi budaya ataupun agama, dan isu kesetaraan gender umumnya dilatarbelakangi oleh pemaknaan teks agama secara permukaan. Kalis mengimbau isu-isu kewargaan dan identitas dalam teks suci agama Islam agar dihayati secara utuh dan mendalam agar terhindar dari kesimpulan-kesimpulan yang mengkotak-kotak dan subordinatif.


"Diskriminasi sering kita lakukan secara tidak sadar," jelasnya. 


Kalis menambahkan, bahwa faktor lain di samping naiknya konservatisme agama adalah adanya perubahan rekognisi kewargaan di ruang publik dari satu generasi ke generasi lain. Suasana masyarakat terdahulu dengan diversitas tetangga, baik secara ekonomi, etnis, dan agama, menciptakan rekognisi kewargaan yang dinamis. Anak-anak tumbuh dalam ruang keberagaman tanpa sekat. Pribadi yang toleran terbentuk dari ekosistem yang plural.


"Dulu, hal pertama yang diajarkan kepada anak-anak Muslim adalah adab (etika) kepada ilmu, orang tua dan masyarakat. Baru setelah itu diajarkan fikih, masalah halal-haram, dan lain-lain. Sekarang, ada kecenderungan anak-anak Muslim langsung dikenalkan pada masalah halal-haram, ketakutan-ketakutan dan penghakiman-penghakiman. Sementara nalar kritis anak-anak masih netral, mereka diarahkan untuk mudah menghakimi orang lain," tuturnya.


Dua dekade terakhir, tren kenaikan populasi kelas menengah sebagai buntut dari percepatan ekonomi juga secara bersamaan merangsang tren kesalehan sosial di beberapa daerah. Enclave kemudian lahir dari semangat kesalehan sosial yang mewarnai ruang sipil dan pola interaksi masyarakat, seperti perumahan Islami misalnya.


Ruang privat atau domestik juga mendapat warna dari tren hijrah, sekolah poligami, dan tawaran ritual keagamaan berbasis simbolik lain. Rekognisi warga dengan identitas tertentu mendapat tantangan seiring dengan berubahnya interaksi sosial umat Islam melalui perumahan Islami. "Di dunia digital, kita juga terkotak oleh algoritma. Algoritma media sosial menaruh orang toleran dengan orang-orang toleran, dan begitupun sebaliknya," terangnya.


Bagi Kalis, masalah kesetaraan gender dan masalah toleransi beragama saling berkaitan. Maju-mundur keduanya sama-sama ditentukan oleh komitmen kolektif, baik masyarakat, umat, tokoh agama ataupun anak muda dalam menyajikan dan melestarikan makna-makna Islam yang humanis dan ramah bagi setiap gender dan identitas kewargaan. 


Dalam pandangan Kalis, orang muda memainkan peran sentral bagi lestari atau tidaknya nilai-nilai toleransi dan kesetaraan gender, karena putus atau tidaknya intoleransi dan budaya subordinasi terletak pada karakter orang muda. Hal sederhana yang bisa dilakukan orang muda adalah dengan memulai dari diri sendiri untuk mendalami agama secara utuh dan mendalam, serta melawan stigma-stigma yang melukai kewargaan ataupun mensubordinasi perempuan dengan sikap dan perilaku yang lebih bijak.

 
Editor: Syamsul ArifinÂ