Nasional MUKTAMAR KE-34 NU

Pameran Seni Rupa Potret Kiai: Membaca Fenomena Munculnya Ulama Dadakan

Kam, 23 Desember 2021 | 16:30 WIB

Pameran Seni Rupa Potret Kiai: Membaca Fenomena Munculnya Ulama Dadakan

Karya seni rupa KH Maimoen Zubair. (Foto: dok. istimewa)

Bandarlampung, NU Online

Pameran seni rupa Matja #2 bertajuk Potret Kiai mengiringi perhelatan Muktamar ke-34 Nahdlatul Ulama yang berlangsung Galeri RJ. Katamsi, kampus Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, 23-31 Desember 2021. 


Pameran ini diikuti 51 perupa dari beragam latar belakang yaitu KH A. Mustofa Bisri, Agus Suwage, Galam Zulkifli, Nasirun, Dipo Andy, Rocka Radipa, Sidik Martowidjojo, I Gusti Nengah Nurata, Jopram, Made Dewa Mustika, Jumaldi Alfi, Krismarlianti, Bayu Wardhana, Budi Ubrux, Andre Tanama, Survive Garage dan lain-lain) dan akan diresmikan oleh H. Abdul Halim Muslih (Bupati Bantul) dan dr. Oei Hong Djien (Pecinta seni & pemilik Museum OHD.


"Pameran ini merupakan salah satu rangkaian kegiatan untuk mengiringi diselenggarakannya Muktamar ke-34 NU yang diselenggarakan Lesbumi Yogyakarta,” ungkap A. Anzieb, kurator seni rupa Matja II ini ketika dihubungi dari Bandar Lampung, Kamis (23/12).  


Ia menjelaskan pameran ini hendak membaca representasi dunia “keulamaan” yang tiba-tiba banyak bermunculan saat ini, yang tentu saja sangat berbeda jauh dengan para ulama  di pesantren-pesantren Nahdlatul Ulama. 


“Bahwa hari ini banyak pemandangan aneh, banyak dai yang beragama tanpa bekal pencarian ilmu yang mendalam lewat Al-Qur’an dan kitab-kitab, langsung berlomba membacakan hadist. Bahkan, semena-mena dipakai untuk menghakimi sesama tanpa rasa takut salah, malah penuh rasa bangga dengan permainan vokal macam aktor film atau pertunjukan drama di sebuah panggung pertunjukan atau layar televisi dan lain-lain memakai ilmu public speaking ala barat, atau mereka lebih mempercayakan pada dai atau penceramah dan kiai Google yang bisa dibawa kemana-mana dan bisa menerangkan segala hal kapan saja,” ungkapnya. 


Menurut dia, hal semacam itu berbeda jauh dengan kiai-kiai zaman dulu yang memiliki berbagai cara dan kreativitas dalam mengajarkan ajaran Islam di Nusantara. Salah satunya adalah menerjemahkan banyak kitab juga hadist ke dalam bahasa lokal (Jawa, Sunda, Banjar, Melayu, Madura, Bugis dan lain-lain). 


“Apa motif para kiai melakukan itu semua? Apakah sekadar agar masyarakat atau santri-santrinya mudah membaca karena kurang menguasai bahasa Arab? Tidak sekadar itu! Namun agar penghayatan pada agama berbasis literasi yang esensinya untuk merawat keimanan,” tegasnya.


Para kiai zaman dulu, lanjutnya, lebih khusuk memilih memasuki bilik-bilik santri, langgar, surau, khidmat, pendiam, tidak berisik, mengejar kaffah setiap saat, selalu berkhidmat dan takzim kepada para kiai sebelumnya yang menjadi guru-gurunya hingga Rasulullah. Para kiai yang lebih memilih khusuk, lebih memilih mengutamakan kemaslahatan umat, membela keutuhan bangsa dan negara, dan memilih jalan sunyi menemui Allah.


“Kiai yang kaffah akan sedikit berbicara tapi sebaliknya lebih banyak melakukan dan berbuat demi kebaikan umat. Kiai-kiai yang tidak berisik, tidak meminta balas jasa, tidak menghitung dengan nilai dunia, tidak ingin meninggalkan apapun kecuali hanya ilmu yang manfaat. Adalah Kiai yang melanjutkan misi Rasulullah Muhammad SAW,” tambah dia.


Menurut dia, kiai-kiai pesantren mengajar serta mendidik santri dan masyarakat dengan dialog batin, nurani, kemanusiaan dan penuh kasih sayang.

 

Bahkan, para santri pun sengaja diajak kiainya ngaji langsung pada alam, menyebabkan para santri memiliki kemandirian serta kepekaan (hubungan) batin dengan kiainya, santri sesama santri, santri kepada masyarakat, kepada alam semesta dan seisinya.


Pewarta: Abdullah Alawi 

Editor: Fathoni Ahmad