Nasional IIDC 2023

PBNU Gagas ASEAN IIDC, Upaya Hadapi Dampak Negatif Globalisasi

Rab, 26 Juli 2023 | 21:00 WIB

PBNU Gagas ASEAN IIDC, Upaya Hadapi Dampak Negatif Globalisasi

Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). (Foto: NU Online)

Jakarta, NU Online

Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) menggagas forum dialog antaragama dan antarbudaya di tingkat Asia Tenggara. Forum itu disebut ASEAN Intercultural and Interreligious Dialogue Conference (IIDC). 


ASEAN IIDC akan digelar di Hotel Ritz Carlton Jakarta, pada 7 Agustus 2023 mendatang. Forum ini menjadi bagian atau rangkaian dari penyelenggaraan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN yang baru akan digelar pada 5-7 September di Jakarta.


Gus Yahya mengatakan bahwa penyelenggaraan ASEAN IIDC digelar lebih awal karena hasil dari dialog para pemuka agama di Asia Tenggara itu akan dimasukkan ke dalam deklarasi bersama ASEAN hasil KTT. 


ASEAN IIDC digelar atas inisiasi PBNU yang merupakan salah satu cara dalam menghadapi dampak negatif globalisasi. Gus Yahya memiliki perhatian khusus terhadap globalisasi yang menggejala di tengah kehidupan umat manusia. 


Di dalam buku Perjuangan Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Gus Yahya menulis secara khusus tentang globalisasi yang diibaratkan seperti dua sisi mata uang, punya dampak positif dan negatif. 


Positifnya, globalisasi menghendaki rasa empati dan belas kasih serta aksi solidaritas antar-manusia tak lagi dibatasi berbagai sekat identitas negara, agama, etnis, dan atribut-atribut pembeda lainnya.


Sementara aspek negatifnya tak kalah banyak. Globalisasi mengakibatkan virus-virus sosial, wabah, dan sentimen primordial menjalar dengan cepat dari satu tempat ke tempat lain.


Menurut Gus Yahya, pendorong utama globalisasi adalah kemajuan teknologi transportasi dan komunikasi. Globalisasi juga dipicu oleh munculnya jaringan sistem ekonomi internasional yang di dalamnya mencakup perdagangan dan transaksi, penanaman modal dan investasi, perpindahan orang dari satu tempat ke tempat lain, serta pertukaran gagasan dan budaya.


Pada kesempatan sosialisasi ASEAN IIDC di Palembang, beberapa waktu lalu, Gus Yahya menyebut bahwa globalisasi telah menjadikan dunia mengarah kepada satu wujud kampung raksasa. Di dalamnya, tak lagi ada satu orang atau satu kelompok pun yang bisa mengasingkan diri dari yang lain. 


Di dalam kampung raksasa globalisasi itu, setiap manusia dipaksa untuk harus bersinggungan dengan siapa saja yang tinggal di atas bumi. Globalisasi tidak lagi mungkin menghendaki satu peradaban tumbuh sendiri dan terpisah dari peradaban yang lain. Dunia masyarakat global ini akan terus mengarah pada terwujudnya satu peradaban tunggal yang saling bercampur satu sama lain. 


Di era globalisasi ini, kata Gus Yahya di dalam buku PBNU (2020: 48), setiap individu bisa terlibat aktif sebagai pelaku di dalam interaksi global. Internet sebagai produk dari globalisasi berpotensi mempersatukan, tetapi juga dapat menimbulkan pertengkaran.


Gus Yahya menggambarkan, internet bisa membuat semua orang membangun bisnis atau mengembangkan persahabatan dengan orang-orang dari belahan dunia mana pun. Tetapi di sisi lain, internet memberikan peluang bagi setiap individu untuk saling bertengkar sambil tidur-tiduran di kamar, bahkan jongkok di kakus. 


Pada keadaan yang seperti itu, Gus Yahya menganggap bahwa isu tentang perbedaan menjadi semakin krusial untuk diangkat. 


Semula, setiap orang bisa nyaman memelihara cirinya sendiri-sendiri tanpa terganggu oleh orang lain karena bisa memisahkan diri dari yang lain. Kini, orang yang berlatar belakang saling berbeda terpaksa harus bertemu dan terlibat dalam urusan bersama.


Gus Yahya mengibaratkan bahwa di era globalisasi ini, semua orang berada di dalam satu bahtera yang sama. 


"Jika satu orang merusak dindingnya (bahtera), semua orang akan menanggung risikonya, termasuk dirinya sendiri. Krisis ekonomi di satu kawasan, itu berarti masalah bagi semua kawasan lainnya," tulis Gus Yahya dalam buku PBNU. 


Gus Yahya menegaskan bahwa pihaknya tengah mengupayakan terwujudnya satu peradaban berlandaskan tatanan yang sungguh-sungguh adil dan harmonis.


Sebab kalau tidak adil, jelas Gus Yahya, maka tidak mungkin harmonis. Adil dan harmonis itu hanya mungkin diwujudkan atas dasar penghargaan dan penghormatan terhadap kesetaraan hak dan martabat bagi setiap manusia.


"Selama masih ada diskriminasi tidak akan ada keadilan, dan selama tidak ada keadilan tidak akan ada harmoni dan selama tidak ada harmoni maka tidak akan ada kedamaian," kata Gus Yahya dalam Sosialisasi ASEAN IIDC di Palembang.