Nasional WABAH VIRUS CORONA

Pemerintah Tetapkan Kebijakan Pembatasan Sosial Skala Besar, Efektifkah?

Sen, 30 Maret 2020 | 11:40 WIB

Pemerintah Tetapkan Kebijakan Pembatasan Sosial Skala Besar, Efektifkah?

Presiden RI Joko Widodo. (Foto: Dok. Biro Pers Setpres)

Jakarta, NU Online
Dalam menyikapi wabah virus corona (Covid-19) yang juga belum mereda, Pemerintah Republik Indonesia menetapkan kebijakan pembatasan sosial skala besar. Kebijakan tersebut disampaikan langsung oleh Presiden Joko Widodo, Senin (30/3) di Istana Negara Jakarta.

Pembatasan sosial berskala besar dilanjutkan Jokowi dengan memerintahkan agar physical distancing atau jaga jarak fisik harus diterapkan secara tegas, disiplin, dan efektif lagi. Semua itu untuk mencegah penyebaran Covid-19.

"Saya minta kebijakan pembatasan sosial berskala besar, physical distancing dilakukan lebih tegas, disiplin, dan lebih efektif lagi," kata Presiden Jokowi dalam rapat terbatas laporan Gugus Tugas Covid-19 yang disiarkan lewat YouTube Sekretariat Presiden, Senin (30/3).

Sejurus dengan kebijakan pembatasan sosial berskala besar, Presiden Joko Widodo juga menyatakan, saat ini perlu kebijakan darurat sipil.

"Sehingga tadi juga sudah saya sampaikan bahwa perlu didampingi adanya kebijakan darurat sipil," jelas Presiden Jokowi dalam siaran yang sama.

Mengenai perintah physical distancing yang lebih tegas dan disiplin, Pakar Epidemiologi dari Fakultas Kesehatan Masyarakt (FKM) Universitas Indonesia (UI), dr Syahrizal Syarif beberapa waktu lalu menegaskan bahwa keberhasilan atau efektivitas kebijakan jaga jarak tergantung pemantauan yang dilakukan oleh pemerintah.

“Keberhasilan kebijakan menjaga jarak akan sesuai harapan jika kebijakan tersebut dipantau oleh masing-masing pemerintah daerah,” ujar Syahrizal Syarif.

Pria yang juga Ketua PBNU Bidang Kesehatan ini menerangkan, ada beberapa indikator kebijakan ‘di rumah aja’ sebagai implementasi kebijakan pembatasan sosial skala besar, yakni belajar di rumah, bekerja di rumah, dan beribadah di rumah.

“Tiga indikator ini harus diterjemahkan praktiknya dalam kehidupan sehari-hari dengan pemantauan. Baik pada tingkat pusat maupun tingkat daerah, harus melakukan pemantauan,” tegas pria yang pernah menjadi Tim Pakar Nasional Epidemiologi dalam kajian virus SARS di China pada 2003 silam ini.

Perihal Keadaan Darurat Sipil

Darurat sipil diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya. Perppu tersebut mencabut Undang-Undang Nomor 74 Tahun 1957. Perppu ini ditandatangani oleh Presiden Sukarno pada 16 Desember 1959. 

Dalam Perppu tersebut dijelaskan 'keadaan darurat sipil' adalah keadaan bahaya yang ditetapkan oleh Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang untuk seluruh atau sebagian wilayah negara. Berikut ini bunyi pasal dalam Perppu Nomor 23 Tahun 1953 ini.

Pasal 1

(1) Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang menyatakan seluruh atau sebagian dari wilayah Negara Republik Indonesia dalam keadaan bahaya dengan tingkatan keadaan darurat sipil atau keadaan darurat militer atau keadaan perang, apabila :

1. keamanan atau ketertiban hukum diseluruh wilayah atau disebagian wilayah Negara Republik Indonesia terancam oleh pemberontakan, kerusuhan-kerusuhan atau akibat bencana alam, sehingga dikhawatirkan tidak dapat diatasi oleh alat-alat perlengkapan secara biasa;

2. timbul perang atau bahaya perang atau dikhawatirkan perkosaan wilayah Negara Republik Indonesia dengan cara apapun juga;

3. hidup Negara berada dalam keadaan bahaya atau dari keadaan-keadaan khusus ternyata ada atau dikhawatirkan ada gejala-gejala yang dapat membahayakan hidup Negara.

Dalam Pasal 3 ditegaskan bahwa penguasa keadaan darurat sipil adalah Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang selaku penguasa Darurat Sipil Pusat.

Dalam keadaan darurat sipil, presiden dibantu suatu badan yang terdiri atas:

1. Menteri Pertama;
2. Menteri Keamanan/Pertahanan;
3. Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah;
4. Menteri Luar Negeri;
5. Kepala Staf Angkatan Darat;
6. Kepala Staf Angkatan Laut;
7. Kepala Staf Angkatan Udara;
8. Kepala Kepolisian Negara.

Namun presiden dapat mengangkat pejabat lain bila perlu. Presiden juga bisa menentukan susunan yang berlainan dengan yang tertera di atas bila dinilai perlu.

Di level daerah, penguasaan keadaan darurat sipil dipegang oleh kepala daerah serendah-rendahnya adalah kepala daerah tingkat II (bupati/wali kota). Kepala daerah tersebut dibantu oleh komandan militer tertinggi dari daerah yang bersangkutan, kepala polisi dari daerah yang bersangkutan, dan seorang pengawas/kepala kejaksaan daerah yang bersangkutan.

Dalam Pasal 7 Perppu tersebut dijelaskan, penguasa darurat sipil daerah harus mengikuti arahan penguasa darurat sipil pusat, atau dalam kondisi darurat Covid-19 ini adalah Presiden Jokowi. Presiden dapat mencabut kekuasaan dari penguasa darurat sipil daerah.

Penghapusan keadaan bahaya (baik darurat sipil maupun darurat militer) dilakukan oleh presiden/panglima tertinggi angkatan perang. Namun kepala daerah dapat terus memberlakukan keadaan darurat sipil maksimal empat bulan setelah penghapusan keadaan darurat sipil oleh pusat.

"Peraturan-peraturan Penguasa Darurat Sipil berlaku mulai saat pengundangannya, kecuali apabila ditentukan waktu yang lain untuk itu. Pengumuman yang seluas-luasnya dilakukan menurut cara yang ditentukan oleh Penguasa Darurat Sipil," demikian bunyi Pasal 9 ayat (1) Perppu Nomor 23 Tahun 1959 itu.

Pewarta: Fathoni Ahmad
Editor: Abdullah Alawi