Nasional TWEET TASAWUF

Pentingnya Merasa Hina-Dina di Hadapan Allah

Jum, 5 Juli 2019 | 03:30 WIB

Pentingnya Merasa Hina-Dina di Hadapan Allah

KH M. Luqman Hakim (istimewa)

Jakarta, NU Online
Kebaikan dan kemuliaan hanya milik Allah SWT. Hal ini mengandung arti bahwa kebaikan yang menyertai manusia merupakan wujud Maha Baik Allah. Sehingga manusia harus bersyukur diberi kesempatan menjadi orang baik dan dikehendaki kebaikan tanpa merasa diri paling baik di antara orang lain.

Dalam hal ini, justru KH M. Luqman Hakim, Pengasuh Pondok Pesantren Raudhatul Muhibbin Caringin, Bogor, Jawa Barat menjelaskan bahwa merasa hina-dina di hadapan Allah penting agar manusia tidak merasa paling baik dan paling mulia dalam kehidupan nyata.

“Manusia modern terlempar pada kehinaan maniak nafsu, namun menyangka dirinya mulia, hanya karena tidak pernah menjaga rasa hina-dinanya di hadapan Allah SWT,” ujar Kiai Luqman dikutip NU Online, Jumat (5/7) lewat twitternya.

Padahal menurut Direktur Sufi Center itu, semakin manusia merasa hina-dina di hadapan Allah, semakin terbuka pintu kemuliaan-Nya. Di sini ia menegaskan bahwa kesombongan yang mengiringi sifat manusia tak ubahnya seperti sampah yang terbuang, hanya dipungut orang-orang hina.

Berupaya mendapatkan Rahmat Allah merupakan sesuatu yang diharapkan oleh semua orang. Namun, Rahmat tersebut tidak akan mampir bagi orang-orang yang selalu menghina-hina orang lain. Namun menurut Kiai Luqman, ciri orang yang sedang dihinakan Allah SWT ialah sering menghina-hina orang lain.

“Orang yang sedang dihinakan oleh Allah SWT biasanya selalu menghina-hina orang lain,” tutur penulis buku Filosofi Dzikir ini.

Menurut Praktisi Tasawuf ini, kebenaran itu tidak tumbuh dari ladang kesombongan dan merendahkan orang lain agar disebut lebih benar.

“Orang yang bungkam tidak menjawab pernyataan anda bukan berarti ia salah dan anda benar,” tegas Kiai Luqman.

Ia menyatakan bahwa agama Islam diturunkan bukan untuk mencela orang. Tetapi justru menyelamatkan karena ia merupakan jalan kehidupan yang penuh dengan nilai-nilai kebajikan universal.

“Islam, ada salam, ada silm (perdamaian) ada sulam (tangga menuju kepada-Nya) ada salim (sehat dan selamat) ada taslim, kesamuanya menggambarkan cita-cita peradaban manusia,” terang Kiai Luqman. (Fathoni)