Nasional

Perbedaan Ketupat Dulu dan Sekarang

Kam, 7 Agustus 2014 | 00:17 WIB

Cirebon, NU Online
Setiap tamu yang berkunjung sowan terlebih dahulu dipersilakan untuk mencicipi ketupat lengkap dengan lauk pauknya. Ketupat yang tersaji biasanya sudah dipotong dadu, tinggal disiapkan ke dalam piring, kemudian  diguyur lauk pauk berupa opor ayam, rendang sapi, empal kambing, atau sekadar tumis daun singkong, sesuai selera.
<>
Begitulah lazimnya suasana perayaan ketupat yang dilaksanakan setiap enam hari usai Idul Fitri di Pesantren Buntet Cirebon, orang-orang di sekitar menyebutnya “Raya Kupat”, sebuah perayaan bagi mereka yang telah secara mulus menunaikan puasa sunah bulan Syawal genap hingga sepekan.

“Dulu memang sebagai syukuran usai melaksanakan puasa sunah Syawalan selama seminggu, tapi sekarang lebih dititikberatkan ke media silaturahmi, barangkali saat Idul Fitri belum sempat berjumpa sanak-famili,” ungkap KH Hasanuddin Busyrol Karim, salah satu Pengasuh Pesantren Buntet Cirebon saat ditemui NU Online di kediamannya, Senin (4/8).

Kiai Hasan mengisahkan, ada bedanya ketupat zaman dulu dan masa sekarang. Konon katanya, dulu ketupat yang disajikan merupakan hasil tirakat dari para pembuatnya. Untuk menyelesaikan satu paket sajian yang akan disuguhkan pada hari raya ketupat, si pembuat bisa menghabiskan paling tidak dua minggu bahkan sebulan dalam menganyam daun kelapa yang biasa disebut janur tersebut.

“Orang-orang yang menganyam tak lupa sambil membaca selawatan, targetnya, saat pekerjaan selesai selawat yang dibaca sudah sekian puluh ribu,” katanya.

Tapi saat ini, lanjut Kiai Hasan, proses pembuatan ketupat dengan cara seperti itu tampaknya sudah sulit ditemukan lagi. Ada beberapa hal yang dianggap sebagai penyebabnya, di antaranya adalah sudah jarang sekali santri yang pandai menganyam ketupat, yang kedua, sudah banyak penjaja wadah ketupat yang dinilai lebih praktis.

“Meskipun begitu, tradisi raya ketupat ini ya penting untuk dipertahankan. Berkahnya jelas masih ada. Karena tradisi ini diajarkan oleh para Wali Songo, khususnya Kanjeng Sunan Gunung Jati,” jelas Kiai Hasan.

Selain itu, ketupat, menurut Kiai Hasan, bisa disasarkan pada asal bahasa Jawa “lepat” dengan makna salah atau kesalahan. Artinya, melalui perayaan ketupat, masyarakat diharap bisa menguatkan silaturrahmi dengan mengakui kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan baik secara sengaja maupun tidak.

Selain di Pesantren Buntet, beberapa pesantren lain di Cirebon juga secara serentak menggelar perayaan yang sama, sebut saja Pesantren Gedongan, Kempek, Babakan, Balerante, Arjawinangun, bahkan di Keraton Kasepuhan dan Kanoman Cirebon. (Sobih Adnan/Mahbib)